spring

Minggu, 30 September 2012

WAKTU

Mungkin mereka berdua terlalu berhati-hati, begitu pikir Bian. Takut kaki mereka dilangkahkan ke arah yang salah, menuju kekecewaan. Biarlah waktu yang menuntun kaki ini, Bian memutuskan. Dan berharap kaki mereka akan bertemu, kakinya dan kaki Bumi.

Dan pada waktu itu pun, Bian kembali berdoa, berharap sekeping ini dari keseluruhan semesta waktu yang ada,dapat menjadi penuntun langkah kakinya. Sedikit petunjuk pun tak mengapa, ia sudah sangat berterima kasih.

Bus yang mereka naiki sangat penuh, terisi oleh teman-teman mereka. Suasana yang hiruk pikuk dalam kesamaan seragam yang mereka kenakan tak mampu menyamarkan pandangan hati Bian kepada Bumi. Sekali-kali, Bian mewujudkan pandangan itu secara lahir dan ia menemukan jawaban yang ia cari dalam mata Bumi yang sedang terarah padanya.

Bus melaju dengan Bian dan Bumi didalamnya. Apakah waktu sedang berbicara keppadanya? Bian menatap kertas-kertas berisi pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya dibagikan kepadanya.

Apakah yang Anda ketahui tentang waktu?

Bagaimana hubungan antara waktu dengan hidup?

Definisikan waktu dengan kata-kata Anda sendiri!

Bian tak dapat menemukan jawabannya. Bian memegang kertas-kertas itu dengan erat. Pandangannya berpusat pada tulisan-tulisan di atas kertas. Bus itu berjalan menanjak dengan cepat. Dirasakannya angin yang terlalu kencang menerpa wajahnya dan kertas-kertas berhamburan terlepas dari tangannya.

Bian tahu sesuatu telah terjadi. Tetapi ia merasa baik-baik saja, walau sedikit kedinginan. Ia berdiri di tepi jalan dengan kemacetan terjadi di sepanjang jalan di sampingnya. Ia melangkahkan kaki ke depan dan kemudian berpapasan dengan beberapa temannya. Beberapa di antaranya menangis dan ketakutan. Ketakutan itu serta merta menulari Bian yang mulai berdebar-debar.

Semakin jauh ia melangkah, keramaian semakin padat. Tapi, sayangnya itu keramaian duka, Bian menyadari. Bian terlalu takut untuk bertanya pada teman-temannya yang semakin banyak berpapasan dengannya. Dan di sana, tempat di mana sebelumnya ia bernaung, tengah tergeletak melintang di tengah jalan. Bus itu kalah. Selainnya, ada kendaraan-kendaraan yang berposisi dengan tak semestinya. Suara tangis dan rintih mengendap di udara.

Bumi. Di mana dia? Bian tersentak mencari. Matanya blingsatan mencari sosok Bumi di tengah kaburnya pandang oleh air mata. Ia langkahkan kakinya dengan tekad sekuat-kuatnya untuk menemukan kaki Bumi. Ia tak peduli lagi apakah apakah waktu telah memberikan izinnya atau tidak. Kali ini ia akan mengabaikan waktu, Bian bertekad. Bumi, tunggu aku! Bian menjerit.

Ia berhenti di depan sebuah rumah. Halamannya yang menyempit memanjang dan dinaungi dedaunan pohon yang rindang, memaksanya memusatkan pandangannya ke sebuah pintu yang terbuka. Ada sepotong wajah di sana. Di wajah itu, Bian dapat melihat luka yang sangat dalam. Wajah itu menatap Bian sedalam-dalamnya. Wajah itu milik Bumi. Bian ingin selamanya seperti itu. Dengan cara itu, Bian dan Bumi biasanya berbicara.

Dan akhirnya Bumi tak mampu lagi menatap Bian lebih lama. Wajahnya ditundukkanoleh tangis yang hanya bisa diterjemahkan oleh Bian. Bian mencoba masuk ke dalam rumah itu. Di sana ia menemukan sebuah meja dan di atasnya terdapat beberapa helai kertas. Kertas-kertas yang Bian genggam untuk untuk terakhir kalinya. Terdapat noda cokelat kemerah-merahan pada kertas itu, dengan titik-titik basah mengelilinginya, penanda jejak air mata yang baru menghilang. Kembali ia baca tulisan-tulisan di atas kertas.

Pertanyaan-pertanyaan itu, Bian masih belum bisa menemukan jawabannya. Tapi satu yang Bian yakini, waktu telah memberikan jawaban untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar