spring

Sabtu, 21 Januari 2017

Tahun Baru 2017

Hari terakhir di perhitungan masehi tahun 2016. Rencana awal, aku akan menghabiskan waktu saja di apartemen. Inginnya menghabiskan malam tahun baru seperti seorang petani di pedalaman Merapi. Selepas sholat isya, pergi tidur, lalu bangun subuh untuk melanjutkan aktivitas seperti biasa.  

Tapi beberapa ajakan teman membuat bimbang. Ditambah sudah seharian ini aku berada di luar, merasa sedikit ‘tanggung’ untuk segera pulang ke apartemen. Setelah bingung memutuskan di saat-saat terakhir, akhirnya aku pun turut berniat untuk melihat kembang api. Aku tak berharap akan pertunjukan kembang api yang spektakuler setelah mendengar cerita beberapa teman yang melihatnya di tahun yang lalu. Memang cukup dimaklumi, dengan karakter masyarakat lokal yang tak terlalu ekspresif ataupun antusias dengan segala sesuatu yang bersifat eksposif, perayaan tahun baru masehi pun tak dapat terlalu banyak diharapkan.

Setelah melewati pos pemeriksaan, ditemani hujan rintik-rintik kami berjalan mengikuti  keramaian massa sambil mencari-cari tempat yang tepat untuk menonton kembang api. Kami memutuskan menduduki tempat yang menghadap ke perairan selat, di bagian bawah sebuah statue. Sebagian orang pun memiliki pikiran yang sama dengan kami.

Tak menunggu lama, tempat itu semakin penuh diisi oleh orang-orang. Menuju detik-detik pergantian tahun beberapa kembang api kecil telah dinyalakan di beberapa tempat lain. Dan akhirnya, ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, sebuah kapal di tengah selat mulai meluncurkan kembang api, meledak di langit malam diikuti dengan rekahan yang menyala emas di gelap malam. Suara dentuman susul menyusul menyerupai suara meriam menggema dan curahan-curahan bunga api silih berganti mempertunjukkan keelokannya. Warna-warni merah, hijau, emas, dan ungu menari-nari di langit yang lama kesepian tanpa gemintang.

Kepalaku setengah mendongak, terhipnotis dengan pertunjukkan di depanku. Dari tempatku berdiri, aku merasa seperti berada di tengah pusaran kembang api yang meledak dengan diameter mencapai puluhan meter. Dengan suara dentumannya yang menggaung agung, butir-butir keemasan yang menyeruak seperti siap menelanku bulat-bulat.  Dan lalu aku teringat Hari Akhir. Akan seperti apakah ketika sangakakala Israfil ditiupkan jika suara ledakan kembang api ini saja sudah dapat menyadarkan manusia terkesiap, menyadari betapa kecil dirinya. Orang-orang yang berada di sini kemungkinan besar telah merencanakan akan melihat kembang api ini sedari siang dan mereka telah memiliki ekspektasi akan apa yang akan mereka lihat dan dengar, yang tentu tak jauh berbeda dengan apa yang mereka dapatkan sekarang. Dan tetap mereka terbius terkesima.

Apa jadinya nanti, ketika di hari Jumat itu, ketika tak ada yang mengira akhir dari segala akhir akan terjadi. Mungkin banyak yang tak akan memiliki pengetahuan sedikit pun akan suara memekakkan telinga yang mereka dengar pada pagi itu. Bagi yang memiliki sedikit pengetahuan, tentu mereka akan segera dihempas dengan ketakutan yang maha dahsyat tak terkira.

Titik-titik merah yang menyeruak menjadi lingkaran besar tepat di depan wajahku dengan dentuman yang menghujam dada seperti siap menelanku ke dalam pusat lingkaran itu. Serta merta aku teringat akan visualisasi ledakan bintang yang bagaikan bunga merah merekah di alam semesta. Tak terkira energi yang dilepaskannya dan membandingkannya dengan energi yang kita peroleh dari bintang terdekat kita, matahari.

Sungguh kita adalah makhluk lemah tanpa daya. Hanya karena rahmatNya dapatlah kita berjalan di atas bumi ini.  

Kamis, 29 Desember 2016

Victoria Line



Kutahu bahwa tak baik menghakimi seseorang, apalagi hanya melalui tampilan luarnya saja. Tapi itulah yang pertama kali terbersit di benak ketika melihat wanita setengah baya itu. Apakah ia dengan seorang dengan pikiran dan jiwanya masih sehat? Jahatnya pikiranku hanya karena melihat pakaiannya yang sedikit lusuh dan gelambir lemak di balik kulitnya yang keriput. Rambutnya yang sebagian telah memutih tumbuh jarang di kepalanya.  Ia membawa troli kecil di belakangnya. Wajahnya agak menampakkan kebingungan. Terbersit rasa kasihan kepadanya. Tapi aku tak boleh terbawa rasa. Apa pun bisa terjadi di dunia yang luas ini.

Ia mengedarkan pandangan ke daerah tempatku berdiri. Dan ia pun memutuskan menuju dua anak muda berpakaian hipster yang sedang mengobrol di sebelah kiriku. Ia bertanya sesuatu ke salah satu anak muda. Aku mencuri dengar dan pandang. Tak terlalu terdengar apa yang dipertanyakannya, dan si anak muda balik bertanya apa yang dimaksud wanita itu. Wanita itu pun mengulang pertanyaannya. Masih kurang terdengar jelas. Si anak muda tampak berpikir sebentar, kemudian berkata-kata sesuatu yang ternyata tidak menjawab pertanyaan. Si wanita menatap anak muda sebentar, kemudian mengalihkan pandangan, kepadaku. Sekejap aku pun membuang muka.

Ia kembali mengitarkan pandangan. Lalu ia pun menuju seorang pria yang berdiri di sisi sebelah kananku. Kali ini suaranya lebih terdengar jelas. “Bagaimana jika saya ingin menuju stasen Viktren?”

“Maaf, ke stasiun mana?” si pria balik bertanya.

“Saya ingin tanya, bagaimana jika saya ingin menuju stasiun... Vic-to-ria Li-ne?” tanya si wanita kembali dengan ritme lebih lambat agar pelafalannya jelas.

“Oh, Anda tinggal naik tangga itu lalu belok kanan dan dilanjutkan dengan menaiki eskalator di sebelah kiri.”

“Jadi saya naik tangga ini, belok kanan dan menaiki eskalator?”

“Ya, eskalator di sebelah kanan,” si pria kembali menjelaskan.

“Baik, terima kasih,” balas wanita itu.

Dengan agak tertatih wanita itu berbalik arah sambil menyeret troli di belakangnya. Ia berjalan lambat di sela orang-orang yang berdiri di peron, menunggu kereta.  Kereta yang kami tunggu segera datang. Orang-orang beranjak sedikit menuju batas peron. Pandanganku masih membuntuti wanita itu. Dengan agak terbungkuk, ia masih menyeret langkahnya di antara orang-orang yang siaga menunggu kereta yang akan datang. Ia berjalan semakin ke ujung peron, di mana sebelah sisinya terdapat tangga yang disebut oleh pria tadi. ‘Mengapa ia bepergian sendiri?’ pikirku. ‘Karena ia mandiri,’ jawabku pula. Andai aku tak terburu-buru mungkin aku akan membantunya. Mungkin.

Sinar lampu dari kereta yang sekejap lagi sampai sudah terlihat di terowongan rel yang gelap. Derit-derit rel yang bergesekan dengan bagian bawah kereta terdengar menjerit sepanjang peron. Si wanita tua menoleh ke arah pria yang ia tanyai tadi dan kemudian ke arahku. Ia tersenyum kecil. Dan kemudian ia melompat ke depan kepala kereta yang datang melaju kencang di depan kami. Meninggalkan trollinya. Jerit orang-orang dan decit rel kereta saling bersaing memenuhi udara.

Minggu, 31 Juli 2016

Complexity of Being Elegant

Saya tau kalo saya orangnya nggak suka dandan, dan sebenernya ga bermasalah dengan itu. Tapi apa salah nyoba penampilan baru? Itu yang saya pikir ketika mutusin beli sepasang sandal perempuan, ber-hak 3 cm. Well, ada yang bilang ‘beauty is pain’ right? So. Lets feel the pain because pain demands to be felt *apasih

Tapi memang yang bikin jatuh hati pada pandangan pertama sama itu sendal adalah modelnya yang elegan dan warnanya yang soft biru donker. Dengan ujung yang sedikit terbuka dan bagian belakang yang beraksen tali, sendal itu sesuai dengan selera saya. Maka, jadilah sepasang sandal itu milik saya sudara-sudara, sambil berharap lewat sendal itu saya dapat bertemu pangeran kerajaan yang lagi cari Cinderella abad 21.
Kesenangan akan kepunyaan sendal kebanggaan itu makin bertambah ketika denger komen temen-temen yang semuanya bilang nggak salah kalo saya beli itu. *stay cool, senyum sipu-sipu dalem ati*

Besok hari pertama di awal minggu a.k.a Senin, saya jadwalnya masuk pagi. Awal hari yang cerah untuk sebuah penampilan yang baru #asseek
Dengan dibalut kaus kaki putih bahan spandex putih yang sempurna, sepasang kaki saya nyaman banget ada di dalem sendal itu. Rasa-rasanya sendal itu memang diciptakan untuk kaki saya, ahahah...
Dan saya pun akhirnya keluar kamar kos, berangkat ke kantor. Tik tok tik tok, sendal mungil ini menimbulkan suara yang bikin saya berasa jadi wanita anggun. Level keren saya melonjak 300%!! *minta ditabok
Saya pun jalan terus dengan gaya anggun sambil dagu agak diangkat-angkat dikit, biar agak berasa model fashion week gitu, hahah.. Gaya ini saya pertahankan sampai saya buka pintu depan rumah kos-kosan dan dengan percaya diri, pandangan lurus ke depan, seakan lagi jalan di atas di catwalk, saya pun melangkahkan kaki keluar.
Tapi  kemudian, semua terjadi dengan sangat cepat. Dari saya berasa nginjek yang empuk-empuk lalu disusul suara mengagetkan yang cukup familiar tapi saya lupa apa itu. Refleks, saya angkat kaki yang ternyata terasa agak berat, masih dibarengi dengan suara berisik yang bikin panik. Harap harap cemas saya menurunkan penglihatan kebawah: KUCING!! Saya ulangi, SAYA TERNYATA NGINJEK KUCING..!! Saya lupa kalo biasanya ada kucing melingker di atas keset depan pintu rumah kosan, T.T
Dan itu kucing masih ngegantung-gantung di kaki pake cakar-cakarnya yang nyantol di kaos kaki! Ngak ada cara lain, Saya tendang-tendangin sedikit kaki biar itu kucing copot dari kaki saya. Nggak berani tendang keras-keras, ntar takutnya doi jadi tambah kalap, bisa saya yang berabe kalo kayak begitu. Tendang sekali dua kali, kucing itu akhirnya lepas dan terus ngacir kabur nggak tau ke mana. So, that morning did really taught me something, about being humble especially, and being aware literally, *exhale while staring holes made by mad cat in my sock.

Sabtu, 27 Februari 2016

Mengasingkan diri di Pergasingan



Kebiasaan tak baik saya sering deadliners masih saja terulang, termasuk malam itu yang selalu packing last minute sebelum perjalanan dimulai. Trip terpanjang selama 2 minggu saja, saya ‘hanya’ packing sekitar 2 jam sebelum  mesti cabut ke pol travel, apalagi untuk trip ini yang hanya sekitar 6 hari (jangan ditiru kebiasaan ini). Maka jadilah saya malam itu baru packing setelah pulang kantor sekitar jam 12 malam, untuk penerbangan jam 5 subuh esok paginya. Kawan trip yang berangkat dari Jakarta pula, Aul, bilang pun sepertinya nggak akan tidur. Oke.
Sekitar jam 3 lewat saya bersiap keluar dari kosan. But then, Aul nggak ada kabarnyaa..
Ketiduran pasti nih bocah, pikir saya. Karena sudah last minute, saya pun langsung mencari taksi sambil selama perjalanan di dalam taksi terus men-dial nomor si Aul. Masalahnya adalah saya nggak tau kosan Aul di Jakarta, jadi sambil memikirkan plan B kalo Aul nggak bangun juga, saya tetap menuju Gambir, meeting point rencana awal. Untungnya, ketika sampai di Gambir ada kabar dari Aul! Horee..
Skip skip, akhirnya kami sampai di Soetta. Tapi kemudian saya lupa masalahnya apa, kami turun di terminal yang tak seharusnya. Akhirnya kami kembali cari taksi untuk ke terminal yang semestinya. (tajir abis lah taksi-an mulu, tapi sudah last minute sih, jam 4 lewat saat itu). Dan saya menemukan teori nggak penting: deadliners selalu menciptakan drama atau drama selalu mengikuti seorang deadliners. Tapi sebenarnya deadliner menyukai kejutan-kejutan, maka jadilah ia mencari drama dengan menjadi seorang deadliner. Bingung, kan? (sama :) )
Jadi ini ternyata bapak supir taksinya nggak tau jalan (pikir saya saat itu), kita malah muter-muter ke arah yang nggak jelas dan lebih sepi. Paak, udah jam setengah 5 ini Pak! Saya Cuma mikir gimana nih kalo ketinggalan pesawat. Selama sejarah per-travelling-an saya yang masih se-upil ini belum pernah saya ketinggalan pesawat, kereta, dll., walaupun saya seorang deadliner (sombong, awas ntar kualat). Well, kalau si Aul punya cerita lain. Pas kita sudah di pesawat, dia bilang dia sudah siap-siap buka pintu taksi kalau si Bapak macem-macem. (Trus ninggalin gw gitu..?!)
Ya, jadi tau kan akhirnya kita berhasil nggak ketinggalan pesawat, dan akhirnya kami sampai di Lombok pagi itu. Kami menunggu Bang Imboer, rekan kami orang asli Lombok, dan satu lagi rekan dari Bandung, Dika. Setelah semuanya kumpul, dan ada tambahan Bang Encep, orang Masbagik juga, kami langsung meluncur ke Masbagik. Dan kemudian jam 11 siang kami pun makan. Makan sederhana di pinggir jalan tapi sumpah enak banget (first notification, bahwa mungkin nanti akan banyak frase-frase semacam itu di tulisan ini :p). Makan siang kami siang itu: plecing kangkung (pastinya), telur dan semacam kuah kari, dan pepaya. Uniknya, pepayanya ditaburi gula pasir dan diberi perasan jeruk nipis (nulis ini sambil nelan ludah).

Makan siang hari pertama




Setelahnya, kami pun menuju rumah Bang Imboer untuk bersih-bersih sebentar.  Dan ternyata saat itu si Dika baru tau kalau rencana kita siang itu adalah tracking. Padahal sudah dikasih tau itin-nya berminggu lalu (-_-, namanya pak direktur sibuk kali ya..? haha).

Kami pun lalu menuju ke desa Sembalun untuk menuju ke bukit Pergasingan dengan ditemani Bang Kun and Bang Encep (Bang Imboer kayaknya melipir kalo yang pake fisik :p). Di jalan, si Dika minta berhenti sebentar untuk beli jeruk. What? Agak gimana gitu bawa buah-buahan kalo pas nanjak (inget pengalaman ke Semeru bawa apel malang 2 kilo). Dan lalu Dika ngejelasin buah itu sehat, food combining, dll. Ya gw juga tau, soalnya gw pernah juga nyobain jadi frutarian (walaupun Cuma bertahan selama beberapa hari). Dan kemudian dilanjutkan dengan debat sambil tuh sekantong jeruk ada di mobil. Dan si Aul Cuma cengar-cengir. 

Sekitar jam 4 sore kami memulai pendakian. Setelah melalui jalan kampung dan melewati beberapa anak tangga, track sempit panjang menjulang tinggi mengahadang di depan kami. Mostly, kemiringan sekitar 60 derajat. Panasnya amboii..!! Tapi untungnya diimbangi dengan semilir angin dingin yang sering berhembus, dan tentunya pemandangan yang memanjakan mata di belakang kami. Gunung Rinjani yang menjulang di belakang kami tertutup awan sore itu.




Bang Kun si Superman



Dua jam setengah kemudian kami pun sampai di camping spot. Matahari sudah pamit setelah menyuguhkan sunset yang oke di ketinggian, as always. Setelah membangun 2 tenda dan makan malam dengan koki Bang Kun dan Bang Encep (sebenarnya master chef di sepanjang trip ini, makasih Abang!!), kami lalu menikmati suguhan bintang-bintang di atas lampu-lampu malam desa Sembalun. Saya masih masih terus bercakap dengan malam sampai mereka pergi tidur lebih dulu. Mereka berulang kali bertanya dari dalam tenda, am I okay being outside all alone? I do really okay, because it’s one of my me-time! Hanya ditemani segelas kopi racikan Bang Kun dan si Niki, saya pun memadu kasih dengan sang hayat.

Organic vs artificial stars (which one do you prefer?)


Pagi menjelang. Kami pun bangun dari tidur malam ditemani angin yang heboh (salah satu frame tenda Bang Kun sampai patah), dan bersiap menyambut sunrise. Setelah cekrak cekrek dengan muka bantal, dan matahari sudah sepenuhnya terbit,  pemandangan di depan kami sungguh spektakuler. Walau gambar akan berbicara lebih, tapi inilah di depan tenda kami: desa Sembalun dengan dikelilingi persawahan serta bukit-bukit, dan gunung Rinjani berdiam dengan agung di sebelah kanannya, seperti mengawasi kami makhluk-makhluk  lemah di bawahnya. Nggak bosan-bosan rasanya melihat itu semua, dengan mata sendiri maupun melalui mata si Niki.

di puncak Pergasingan

Sampai jumpa Rinjani!



Enggan beranjak, tapi kami mesti turun pagi itu untuk menuju pelabuhan Kayangan siang itu juga. Dan ternyata perjalanan turun tidak lebih mudah daripada ketika naik. Yang biasanya bisa sedikit berlari untuk track turun, tapi kali ini sulit dilakukan karena kemiringan yang cukup terjal. Dan jam 12 siang kami sudah sampai di Masbagik lagi dengan membeli nasi bungkus yang murah dan enak (sudah dapet ayam goreng J).

Salah satu rumah di Sembalun

Tulisan ini saya akhiri di sini dulu. Tadinya saya berencana menulis keseluruhan 6 hari perjalanan dalam satu tulisan, tapi sepertinya akan terlalu panjang dan juga mengingat PR kuliah yang banyaknya menyaingi gunung Rinjani. Harap maklum dengan ke-tidakkonsisten-an saya dalam penggunaan gaya bahasa. Lebih mending saya punya banyak gaya bahasa kan daripada kebanyakan gaya :D