spring

Jumat, 12 Juli 2013

Angels in Rebels of Rinjani (Part 2)


3 Juni 2013. Pagi yang cerah cenderung panas kami bersepuluh berangkat meninggalkan basecamp, ditemani Bang Kuntet, Bang Jamil, & Bang Deco. Terik matahari nggak menghalangi saya untuk tidur di perjalanan. Tutup muka pake topi, maka nyenyaklah saya.  Jangan tiru adegan ini di rumah ya.. :D

Foto dulu sebelum berangkat, bareng anak-anak PAS & keluarga (photo by Eling)



Mobil yang membawa kami ke Sembalun (photo by Sam)
Saya baru terbangun ketika mobil melintasi hutan. Kadang-kadang kami bertemu monyet yang gendut-gendut nan lucu, beda banget sama monyet Sarimin.Sekira jam 2 siang kami mulai nanjak (lama banget yak?) Sebenernya sampe Sembalun jam 12 siang, terus makan siang & sholat, baru lanjut lagi jam 2.

Sepanjang perjalanan menuju pos 1, trek masih berupa padang-padang terbuka. Kami berjalan sambil kadang ber-say hei-hai dengan bule-bule yang turun lewat Sembalun. Lumayan buat nambah-nambah di CV di bagian ‘active speaking English’. :p

Somewhere outhere menuju pos 1

Puncak Rinjani dari savana Sembalun

Merepih Alam

Setelah pos 1, padang-padang mulai ditumbuhi rerumputan yang tinggi. Dari jauh seperti sawah yang menguning..! Langit luas yang biru bikin saya pingin terbang…!! (memang bisa..? berenang aja kagak). Di pos 2 terdapat mata air, yang orang mesti turun ke bawah kalau mau ngambil. Sempat ketemu beberapa tim lain juga di pos 2, yang sama-sama sedang istirahat. Akhirnya, sekira pukul 6 sore, kami tiba di pos 3. Karena hari mulai gelap, tenda segera didirikan. Di cahaya yang remang-remang itu, saya melihat..
Beberapa kerlip bintang yang bersinar terang. Semoga seterusnya secerah ini, doa saya. Dan betulah, malam itu bintang-bintang bak ketombe butir kristal yang ditaburkan di atas langit malam lalu dibingkai perbukitan yang berjajar di bawahnya. I really wish I could fly…!!
Untuk makan malam, kami menyantap nasi bungkus yang kami bawa dari Masbagik. Lumayan praktis, karena setelah itu saya sibuk berguru fotografi (padahal cuma megangin kamera doank) sama si Ndank buat nangkep bintang-bintang yang lagi narsis-narsisnya J. (Ga tau kenapa foto bintang dari kamera saya belum bisa di-upload, sementara fotonya Ndank dulu)

Bintang-bintang (photo by Ndank)

Esok paginya kami melanjutkan perjalanan menuju Plawangan Sembalun, yang katanya melewati tujuh Bukit Penyesalan. Jalur trek memang terus menanjak tapi saya masih belum merasa kehabisan napas. Sering saya katakan ke diri saya sendiri kalau jalur di depan akan lebih parah dari yang saya injak sekarang. Dan saya menggunakan teknik pernapasan seperti ini (dikasih tau Ndank): hembuskan napas dengan waktu lebih lambat daripada ketika menghirupnya. Well, saya nggak tahu di mana di antara kedua itu yang efektif, tapi saya nggak merasa mau putus jantung kayak pas nanjak Cikuray. Alhamdulillah.. Tapi ya tetep, namanya nanjak masih ada ngos-ngosannya. Tambah ngos-ngosan ketika lihat Bang Kun duduk di atas bukit sambil pamer jajanan agar-agar warna-warni yang dikasih pemilik mobil yang mengantar kami ke Sembalun. “Yo.. yang rasa jeruk, stroberi, anggur, tinggal pilih...!!” Lagi asik-asiknya makan agar-agar, eh ada monyet. Posisi nya cukup dekat dengan saya duduk. Kemudian monyet itu bergerak tiba-tiba ke arah saya. Refleks, saya mundur. Eh, monyetnya tambah berani. Walhasil, ada kontak senjata (baca:batu kecil) antara Bang Kun dan si monyet.Tapi nggak kena kok monyetnya, langsung kabur doi. Kata Bang Kun, monyet itu takut kalau kita berani. Catet!
Ini tersangkanya :p
Setelah sekitar lima jam perjalanan, jam tiga sore kami tiba di Plawangan Sembalun dan disambut hujan deras.  Hujannya nggak sebentar dan nggak lama juga #apa sih..?  dan kemudian sunset yang canntikkk banget hadir di Plawangan Sembalun. Di sebelah kiri tenda ada danau Segara Anak, tepat di depan tenda ada gunung Sengkareng beserta matahari di baliknya, dan di sebelah kanan ada gradasi warna yang uwedan: biru,jingga, pink, dan di bawahnya hamparan awan! Narasi nya sudah, nah di bawah ini visualisasinya (mata belo).

Sunset dari Plawangan Sembalun

Raul sedang memuji alam dengan caranya yang makjleb..!! (photo by Sam)
Acara hunting-hunting foto selesai ketika matahari benar-benar hilang di balik bumi. Kami lanjut makan malam setelah sebelumnya terjadi drama yang bikin mood Eling jadi hilang, yaitu doi yang nggak sengaja nginjak feses homo sapiens. Kami harus cepat-cepat pergi tidur untuk muncak tengah malam nanti. Apa daya, sekitar dua jam saya hanya bolak-balik di dalam tenda, nggak bisa tidur. Apa jadinya kalo muncak tapi nggak tidur..? Tapi untung akhirnya tidur juga. Sebelum berangkat kami makan telur rebus, roti, dan minum minuman panas yang udah disiapin trio Bang Deco, Kun, & Jamil. Kira-kira jam setengah dua kami berdoa dan memulai perjalanan ke puncak dewi Anjani, ditemani Bang Kun & Bang Jamil. Bang Deco menunggu di tenda, dan akan menyiapkan makanan untuk kami santap ketika turun nanti (masih ingat kan kalo sebenernya mereka bukan porter? #terharu).
Dilihat dari sinar-sinar lampu headlamp, sepertinya kelompok kami tim kedua yang memulai perjalanan muncak malam ini. Irene agaknya not feeling so well,, but she said she can do it! Setelah menembus hutan sekira 45 menit, tanah yang dilalui mulai berpasir dan bebatuan. Ketika lagi berhenti istirahat, lihat ke bawah, lah... masih kelihatan lampu desa Sembalun…! Padahal kan ini sudah di ketinggian dua ribu sekian dan kami udah nge-track dua hari.. hiks..
Semakin ke atas jalurnya semakin terjal. Kata teman-teman yang sebagian besar sudah ke Semeru, track pasir ini sedikit lebih mudah dari Semeru. Mungkin bisa jadi karena sehari sebelumnya hujan, jadi pasirnya lebih padat dan nggak gampang longsor waktu mereka naik Semeru. Kalau nengok ke bawah, makin banyak titik-titik putih dari headlamp yang sedang meratap naik ke puncak. Semakin ke atas, kami (baca:saya) lebih sering beristirahat. Bang Jamil, Ndank, & Raul sudah lumayan jauh ke atas daripada saya, Rifki, Aul, & Yopi. Eling, Irene, Wafiq, Sam, & Bang Kun nggak begitu jauh di bawah.  Bule-bule semakin banyak yang mendahului saya. Jejak kaki mereka besar dan mantap. Saya ikuti jejak mereka di atas pasir, lumayan mengurangi kemungkinan longsor kembali. :p

Pucuk.. Pucuk.. Pucuk...!!!! (photo by Eling)
Kira-Kira setengah jam sebelum saya mencapai puncak (dekat di mata, jauh di kaki), matahari sudah mulai merekah. Good morning sunrise! dan awan yang menutupinya..! J
Jalan lanjut terus, walaupun langkahnya Cuma timik-timik (baca: pendek-pendek). Tak kan lari puncak dikejar, hehehe…
Daaann akhirnyaaa…. Mission Accomplished…!!! :D :D
Kira-kira pukul setengah tujuh pagi, dengan rahmat Allah swt. Kaki kecil saya yang berukuran 36 ini bisa berada di puncak dewi Anjani! Disambut salaman oleh Ndank & Bang Jamil, lunas kebayar semua rintih & asa selama perjalanan. Feel relieved… Alhamdulillah
Tapi dingin banget di atas sana, padahal matahari udah terbit. Dengan nggak tau malu, saya malak jaketnya Raul yang tebel :p (dia pakai double jaket).

Satu per satu seluruh anggota tim akhirnya mencapai puncak. Saling memberi selamat dan berbagi kebahagiaan J Begitu juga dengan tim-tim lain, bule-bule saling berangkulan terharu.

Ritual wajib di atas puncak tak kami lewatkan. Bernarsis ria, mencoba mengabadikan sekejap momen yang ada di puncak Rinjani. Eling lalu mulai niup balon buat meriah-in suasana, dan dibawa ke sesi foto-foto :D

Misenkomplis yeeiy..!! (photo by Ndank)

Lanjoot ke part 3 #lap keringet

Angels in Rebels of Rinjani (Part 1)



Pertama, maafkan saya jika tulisan ini berakhir panjang, karena begitu banyak yang ingin saya tuliskan tentang perjalanan ini. Tapi, let’s see then…
Kedua? Gak ada sebenernya,, :D , tapi demi keluhuran tata Bahasa Indonesia saya perlu menuliskan kata ‘kedua’. #penting ya?
 
Tidak seperti trip nanjak sebelumnya, untuk kali ini saya memberi tau ibu kira-kira dua minggu sebelum berangkat. Sesuai prediksi dengan ilmu probability & statistika, begitu banyak wejangan dan nasihat membanjir selama dua minggu itu… 
Ibu saya termasuk orang yang jarang travelling untuk rekreasi, dan anehnya tiba-tiba jadi komentator dan kritikus handal untuk persiapan nanjak ini, termasuk mengenai porter. Mendengar jumlah kami yang bersepuluh ibu saya menyarankan menggunakan porter 2 orang untuk guide dan sweeper. Well, saya memang anak yang bandel, pesan itu Cuma saya simpan sendiri, tidak saya sampaikan ke teman-teman sesuai amanat ibu saya. Saat itu saya pikir, biasanya satu tim pendaki saja pikir-pikir untuk menggunakan satu porter, apalagi dua..? 
Dan.. jeng..jeng.. jeng… Sesuai saran yang udah nanjak sebelumnya, keputusan terakhir satu tim kami adalah menggunakan dua porter! Mom is always right!!
See you later Mommy..! saying goodbye to ibu dan empek-empeknya di rumah yang tidak mampu membujukku untuk tinggal dan gak jadi nanjak #halah

Perjalanan dimulai hari Jumat sore 31 Mei dengan travel Transline tujuan Bandung yang ada di sekitaran Tebet. Sampai di Bandung sekitar jam setengah sepuluh malam (agak lama karena macet Jumat sore, namanya juga Jakarta :p), dan si Eling berbaik hati mau jemput buat ke kosannya.  Di kosan sudah ada ada Irene yang lagi keringin sepatu pake hair dryer (kreatif Ren,, J)
Skip skip skip sampe besok pagi nya,, ehh..  ntar dulu, ada yang perlu diceritain. Jadi malemnya saya beli makan ayam goreng judulnya, pake nasi, tapi apa daya,kayaknya si bapak yang jual nggak berhasil nangkep ayamnya (baca:bapaknya lupa bungkusin ayamnya), jadi yang dikasih ke saya nasi putihnya aja plus lalapan. Vegetarian deh,, ya sudahlah hajar aja berhubung belum makan dari siang :v :v

Besoknya pagi-pagi jam setengah lima surup kita sudah cabut ke stasiun Kiara Condong, buat naik kereta Pasundan jurusan Surabaya yang berangkat satu jam kemudian. Setelah kawan kita yaitu Ndank sampai juga di stasiun kami langsung unjuk tiket ke petugas dan masuk kereta. Langit masih agak gelap ketika kereta mulai bergerak.. Bismillah.. Let’s goo..!! Yeaayy..!!

Dari semua alat transportasi yang pernah saya naikin, yang paling saya suka yaitu kereta. Nggak bikin mabuk, bisa lihat-lihat pemandangan, dan nggak keganggu sama jalan yang berlobang-lobang. Jadilah saya pagi itu nikmatin pemandangan di luar kereta. Kalo ngelewatin orang-orang yang yang lagi ngeliatin kereta, pengen rasanya bilang,” Hei, hei, kami pergi loh.. ke Rinjani..!! ke Rinjani..!!”   #penting

Selama perjalanan lihat sawah-sawah yang menguning, bukit-bukit yang terselimuti kabut tipis, membawa kesan tersendiri.  Ada suatu pemandangan di mana saya lihat sekelompok anak laki-laki dengan ceria sedang main sepak bola di tanah lapang sebelah gedung sekolah yang bertuliskan SD Cihaur Kuning, dan sekelilingnya dilingkupi persawahan dan pepohonan yang berbukit-bukit. Sungguh suatu ‘adegan’ yang menunjukkan bahwa human and mother nature can really get along, if we try. Lalu melihat jalan pedesaan di tengah persawahan seperti visualisasi  Desa Sukasari yang sering muncul di buku-buku waktu jaman saya SD, di mana there’re no wars, no cries, no riots, and no bbm naik :p. Peaceful mind.

Dari jendela kereta suasana sekitar berubah-ubah dengan cepat, dari kota yang hiruk pikuk, pinggiran kota, perumahan yang ramai,persawahan, perumahan yang sepi, hutan, terowongan, dan entah apa lagi. Saya menikmati itu semua sampai saatnya sinar matahari yang panas mulai menyorot persis di wajah.  Kami berempat mulai mati gaya berhubung tidak ada game yang bisa dimainkan. Kartu uno, dsb. nggak dibawa. Akhirnya si Eling beli buku TTS yang dijual keliling sama pedagang di dalam kereta. Lumayan ngebantu itu TTS buat ngisi waktu selain duo Eling & Irene yang karaoke-an dalem kereta, cadas bener memang..
Dimulai dari gelap sampai gelap lagi, dan kami belom sampe-sampe di stasiun Gubeng Surabaya, wow..! Jam setengah 10 malam akhirnya sampailah kami di Gubeng, dan meluncur ke tempat sodaranya Irene di daerah Waru buat numpang tidur, mandi, sama makan.. hehehe (makasih ya sodaranya Irene J)

Besoknya tanggal 2 Juni siang, diiringi hujan deras kami berempat ke bandara Juanda untuk penerbangan ke Lombok Praya. Kami naik citilink yang ternyata saya pikir punya sense of art. Sambutan yang biasanya ada dalam pesawat, ditambahi pantun oleh mereka.  “Gili Trawangan yang indah dan elok, selamat datang di Lombok!”  Well done! Tapi sayangnya kami nggak dikasih air putih… #haus men..! #crying


tiga putri minus Ndank (photo by Eling)

Setelah itu kami menuju Masbagik menumpang mobil sewaan seharga 150ribu rupiah (kayaknya harga segitu karena teman kami ada yang lebih dulu kenal sopirnya, yaitu Bang Hafiz).  Sempet mampir ke mini market buat beli logistic yang bisa dibeli malem itu (takut besok kesiangan), sampailah kami ke basecamp PAS (Pencinta Alam Syahir) Masbagik.  Di sana sudah berkumpul anggota tim lainnya yaitu Raul, Sam, Wafiq, Rifqi, Aul, dan Yopie. Kami akan bermalam di basecamp PAS ini lalu kemudian esok pagi nya meluncurke Sembalun yang jaraknya kira-kira 2 jam bermobil dari Masbagik. Di basecamp, kami disambut Bang Ocep yang langsung menggiring kami ke bagian belakang rumah di mana plecing kangkung sudah menunggu dengan rayuannya #slurp…  Plecing kangkungnya begitu nikmat diramu oleh Mba Tya (istri Bang Ocep).  Bagian sedihnya yaitu saya yang nggak tahan pedas.. Setelahnya, kami diskusi untuk persiapan besok. Hasilnya diputuskan: nggak jadi porter, ada tiga teman dari PAS yang akan menemani. J
Lanjut di part 2 ya... :)

suasana diskusi di basecamp PAS (photo by Sam)

Sabtu, 15 Juni 2013

Nge-Mie Kangkung di New Star Kopitiam


Awalnya tau ada makanan ini ketika kunjungan pertama. Karena waktu itu, dilanda lapar akut akibat belum makan seharian, sempat dilemma antara memesan Tom Yam atau Mie Kangkung ini. Demi kesejahteraan perut, akhirnya saya memilih Tom Yam, dan berjanji pada diri sendiri untuk mencoba Mie Kangkung di kunjungan selanjutnya.

Tongkrongan sih boleh ya di kopitiam, tapi minum yang saya pesan hanya teh hangat tawar. Well, whatever, saya ke sini hanya penasaran dengan Mie Kangkung nya J Mungkin lain kali saya cicip kopi nya, tapi yang ini saya tidak janji :p



Tampilannya sekilas seperti mie ayam, cukup bermiyak. Mie nya seperti mie basah pada mie aceh, tapi dengan diameter lebih kecil. Dagingnya lumayan berlimpah, ada daging sapi, ayam, udang, selain ada jamur juga.  Dan tentu nya ada si kangkung ditemani kecambah. Let’s eat..!

Rasanya ada sedikit jejak seperti Tom Yam, dan identitas masakan Asia terasa kental sekali.  Well, enak, lanjut..!! Dibandingkan mie ayam, rasanya lebih manis mie ayam. Kuahnya cukup banyak membanjiri mi, mirip dengan mie rebus yang ada di tukang nasi goreng.

Oh ya ada juga irisan jeruk purut, tapi saya gunakan sedikit saja. Untuk rasa yang lumayan cocok di lidah saya, harganya lumayan nggak miring untuk makanan berbahan dasar mie. Kisarannya Rp. 20.000an. Well, mungkin karena di kopitiam ya..? J




Selasa, 21 Mei 2013

Melipir ke Sindoro, 28-31 Maret 2013


My number 1 list terpaksa tertunda lagi. Disebabkan hujan badai di musim pancaroba dan pohon-pohon tetumbangan menutupi jalur maka jalur pendakian Gunung Semeru ditutup. Kepastian datang tiga hari sebelum tanggal jadwal kereta yang tertera di tiket yang sudah di tangan. 

Nggak begitu menyesal sih, sudah siap-siap aja dengan akhir yang begini, namanya juga lagi pancaroba J..
Tapi terus jadi bingung, rencana B yang kira-kira mau muter-muter Jawa Timur di-dislike sama teman yang lain. Setelah menggalau 2x24 jam, muncul ajakan sama si teman untuk ke Sindoro. Beranchhuutt..!!
Dari stasiun Senen, kami beriga naik kereta Matarmaja sekitar jam 3 sore jurusan Malang, tapi nanti turun di tengah-tengah, yaitu stasiun Poncol Semarang.  Baru kali ini naik kereta api jurusan yang jauh-jauh di pulau Jawa (udikk,, :p)



Sekitar pukul 11 malam, kami sampai di stasiun Poncol. Setelah sholat danbersih-bersih, kami lalu berjalan kaki ke masjid besar (lupa namanya)  yang ada di Simpang Lima. Jalan kaki? Iya jalan kaki,dengan bawa carrier dan mampir di McD, karena udah laper berat, kami sampai di masjid sekitar jam 3.

Kami tidur di teras masid dengan banyak orang-orang lain yang sepertinya dalam perjalanan juga. Sekitar jam 5 kurang, kami terbangun karena adzan subuh dan suara Bapak-bapak, “He, mas, bangun mas..!! Sholat, ini masjid! Bangun dulu, sholat. Nanti dilanjut lagi!” dengan logatnya yang medhok Jawa. Orang-orang bangun dengan kaget dan muka linglung. Agak lucu juga sebenarnya J

Pagi menjelang, pikiran baru ON. Dan ternyata ingat aku punya teman di Semarang ini, Ungaran tepatnya, yang sebenarnya bisa ‘dimanfaatkan’ supaya nggak usah jalan kaki tadi malam, hehe..
Perjalanan dilanjut naik bus ekonomi jurusan Purwokerto yang kami nanti akan turun di desa Kledung, pintu masuk langsung ke jalur pendakian Sindoro. Pemandangan selama perjalanan lumayan menyegarkan mata, melewati sawah-sawah, sungai, dan gunung Ungaran. Setelah tiga jam pantat panas duduk di atas mesin (udah syukur dapet tempat duduk) kami berhenti di depan gapura desa Kledung.

Sampai di basecamp kami rehat sejenak sambil menunggu hujan deras yang kayak benar-benar tumpah dari langit dan teman-teman lain dari Jakarta yang terjebak macet long wiken.  Tadinya beberapa dari kami berencana naik besok pagi saja, karena tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, tapi si Om Jim ketua sukunya mengusulkan berangkat sesudah hujan berhenti saja. Dengan gabungan rekan dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Oke kami pun berangkat.  Tepat   di pos satu, adzan maghrib berkumandang, suasana mendung. Baru pertama kalinya ini aku trekking malam, Bismillah..!!

Jalur awal-awal, nanjak terus, napas megap-megap, udah kayak mau putus (lebay..!). Padahal sebelum berangkat tadi udah sempet tukeran carrier, karena ada yang berbelas kasihan melihat carrierku yang tinggi menjulang ( aku juga ga tau knapa bisa heboh, padahal ga ada isi yang macem-macem..). Aku ada di tengah-tengah barisan.  Duh, yang depan racing banget dengkulnya. Semampuku sajalah, dalam hatiku, sambil berjalan pelan-pelan menyambung napas satu-satu. Sekitar 1,5 jam perjalanan, napas dan kaki sudah mulai stabil, dan yang depan-depan stabil juga racingnya (Saluutt..!! padahal jalanan licin habis hujan). Tapi walupun begitu, mereka tetap menunggu kami yang di belakang ini, dan ada Om Jim setia mengiring kami di paling belakang.  Good team!

Sekitar 2 jam perjalanan, kami berpapasan dengan regu penyelamat yang membawa seseorang yang ditandu. Menurut info, karena keseleo. Wah harus lebih hati-hati nih.. Tak lama kami pun sampai di pos 3, camping area, which is masih setengah perjalanan menuju puncak. Sudah banyak yang nge-camp rupanya.
Nggak begitu laper buat makan, langsung tidur stelah sebelumnya sholat dulu. Pagi jam 4 bangun, siap-siap muncak. Dengar-dengar kabar, katanya pos 3 ini nggak aman. Jadi kalau mau muncak, harus diangkut semuanya. Ternyata ada teman yang kakinya sakit dan nggak muncak. Hikmahnya, kami bisa muncak tanpa bawa carrier.

Satu suasana yang membekas adalah, ketika langit berwarna biru dongker (habis subuh gitu) di langit masih ada bulan yang redup, di sebelah sisi lainnya matahari mulai merekah, dan dialasi dataran yang seperti savanna. Jempol empat!!
Mendaki bukit, di balik bukit, masih ada bukit lagi. Terlihat dataran yang paling tinggi hanya yang ada di depan mata, secercah harapan muncul, puncak sebentar lagi. Kabut  menghilang, ternyata masih ada bukit lagi di belakangnya, hopeless..



Setelah 5 jam perjalanan diselingi jalur trekking yang sempit, akhirnya sampai di puncak. Alhamduliiah,,
Area kawahnya gede banget, dan ternyata ada alun-alun yang cantik dan luaass banget..!! 
Setelah jepret sana sini bernarsis ria dan makan ala kadarnya (baru inget belum makan dari semalem) kami turun.  Di tengah jalan hujan deras mengguyur. Setelah terpeleset kesekian kali dan jalur trekking yang ajib, kami pun sampai di tenda.  Hujan baru berhenti setelah maghrib.
Kami menginap semalam lagi di pos 3, dan pagi nya setelah menikmati sunrise dengan latar Gunung Sumbing, kami pun turun ke basecamp. Om Jim dan beberapa teman janjut Merapi, lalu ada yang langsung balik ke Jakarta, kemudian ada yang mampir ke Solo sebelum ke Surabaya, dan aku pun memilih mampir ke Semarang, Ungaran tepatnya.



Have a nice trip fellas..!! :)