spring

Kamis, 29 Desember 2016

Victoria Line



Kutahu bahwa tak baik menghakimi seseorang, apalagi hanya melalui tampilan luarnya saja. Tapi itulah yang pertama kali terbersit di benak ketika melihat wanita setengah baya itu. Apakah ia dengan seorang dengan pikiran dan jiwanya masih sehat? Jahatnya pikiranku hanya karena melihat pakaiannya yang sedikit lusuh dan gelambir lemak di balik kulitnya yang keriput. Rambutnya yang sebagian telah memutih tumbuh jarang di kepalanya.  Ia membawa troli kecil di belakangnya. Wajahnya agak menampakkan kebingungan. Terbersit rasa kasihan kepadanya. Tapi aku tak boleh terbawa rasa. Apa pun bisa terjadi di dunia yang luas ini.

Ia mengedarkan pandangan ke daerah tempatku berdiri. Dan ia pun memutuskan menuju dua anak muda berpakaian hipster yang sedang mengobrol di sebelah kiriku. Ia bertanya sesuatu ke salah satu anak muda. Aku mencuri dengar dan pandang. Tak terlalu terdengar apa yang dipertanyakannya, dan si anak muda balik bertanya apa yang dimaksud wanita itu. Wanita itu pun mengulang pertanyaannya. Masih kurang terdengar jelas. Si anak muda tampak berpikir sebentar, kemudian berkata-kata sesuatu yang ternyata tidak menjawab pertanyaan. Si wanita menatap anak muda sebentar, kemudian mengalihkan pandangan, kepadaku. Sekejap aku pun membuang muka.

Ia kembali mengitarkan pandangan. Lalu ia pun menuju seorang pria yang berdiri di sisi sebelah kananku. Kali ini suaranya lebih terdengar jelas. “Bagaimana jika saya ingin menuju stasen Viktren?”

“Maaf, ke stasiun mana?” si pria balik bertanya.

“Saya ingin tanya, bagaimana jika saya ingin menuju stasiun... Vic-to-ria Li-ne?” tanya si wanita kembali dengan ritme lebih lambat agar pelafalannya jelas.

“Oh, Anda tinggal naik tangga itu lalu belok kanan dan dilanjutkan dengan menaiki eskalator di sebelah kiri.”

“Jadi saya naik tangga ini, belok kanan dan menaiki eskalator?”

“Ya, eskalator di sebelah kanan,” si pria kembali menjelaskan.

“Baik, terima kasih,” balas wanita itu.

Dengan agak tertatih wanita itu berbalik arah sambil menyeret troli di belakangnya. Ia berjalan lambat di sela orang-orang yang berdiri di peron, menunggu kereta.  Kereta yang kami tunggu segera datang. Orang-orang beranjak sedikit menuju batas peron. Pandanganku masih membuntuti wanita itu. Dengan agak terbungkuk, ia masih menyeret langkahnya di antara orang-orang yang siaga menunggu kereta yang akan datang. Ia berjalan semakin ke ujung peron, di mana sebelah sisinya terdapat tangga yang disebut oleh pria tadi. ‘Mengapa ia bepergian sendiri?’ pikirku. ‘Karena ia mandiri,’ jawabku pula. Andai aku tak terburu-buru mungkin aku akan membantunya. Mungkin.

Sinar lampu dari kereta yang sekejap lagi sampai sudah terlihat di terowongan rel yang gelap. Derit-derit rel yang bergesekan dengan bagian bawah kereta terdengar menjerit sepanjang peron. Si wanita tua menoleh ke arah pria yang ia tanyai tadi dan kemudian ke arahku. Ia tersenyum kecil. Dan kemudian ia melompat ke depan kepala kereta yang datang melaju kencang di depan kami. Meninggalkan trollinya. Jerit orang-orang dan decit rel kereta saling bersaing memenuhi udara.