spring

Senin, 03 Desember 2012

Sudut Pasar


Pasar itu selalu ramai. Di kota kecil, pasar menjadi pusat pertemuan,semua kalangan, semua umur, mau tak mau. Semua tersedia, sandang, pangan, dan papan di pasar itu. Segala kebutuhan terpenuhi, tercukupi karena ketidaktahuan. Keinginan untuk memilih kebutuhan hanya muncul setelah adanya pengetahuan. Keinginan itu lah yang kadang membuat hidup lebih rumit. Pengetahuan akan pilihan kebutuhan itu biasanya muncul di kota besar, sehingga penduduk kota kecil jarang yang menderita tekanan batin akibat kerumitan menentukan pilihan kebutuhan itu.
Kembali ke sudut pasar, ada seorang lelaki tua terbungkuk menaiki tangga. Anak-anak tangga yang telah ditatapi setiap hari berpuluh tahun.
Di kiri kanan tangga itu, seorang demi seorang terduduk tersandar pada beton, menjajakan dagangannya.  Tapi itu nanti, setelah matahari berada di sepenggalan kepala.

Lelaki itu menyerahakan pada kaki nya ke mana langkah akan ditapaki. Kaki itu telah dilatih waktu untuk membawa si empunya menuju tempat di mana ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya.
Sebuah petak berbatas beton terselimuti papan-papan bergeming menatap lelaki tua yang berhenti di hadapannya. Seraya mengucapkan selamat pagi, lelaki itu mengambil kunci kecil dari kantung kemeja nya, membuka pintu kecil setinggi paha, juga terbuat dari papan.
Dibukanya satu per satu lembaran papan yang menyembunyikan ruangan di bawahnya, namun disisakanbeberapa lembar papan sebagai tempat terjajarnya barang dagangan. Setelah dialasi Koran, diletakkanya dengan cekatan namun hati-hati, bungkusan plastic berwarna putih bertotol warna krem, yang merupakan kedelai.  Bungkusan itu adalah tempe.
Lagi-lagi karena waktu, lelaki itu telah merasa bahwa tempe-tempe berbungkus plastic itu adalah anaknya, anak bungsu nya yang tak juga beranjak besar. Ia  menata tempe-tempe tersebut berdasarkan ukurannya. Di sampingnya, terselip pisau bemata tajam yang berselimut Koran, walau hanya untuk memotong tempe.
Di samping petaknya, seorang wanita tua, namun lebih muda dari nya, juga sedang menyiapkan dagangannya. Tampah-tampah berisi akar-akaran, seperti jahe, laos,dan serai dikeluarkan dari kolong papan. Tampah berisi bunga-bunga dan daun pandan mempunyai tempat tersendiri di pinggir petak. Wanita itu berceloteh ramai sambil tangannya bergerak ke sana ke mari. Tubuh yang gempal dan rambutnya yang keriting seakan turut berbincang seiring lincahnya wanita itu bergerak.
Di depan mereka, seorang ibu duduk di belakang beberapa ember besar, yang isinya adalah sahabat anak lelaki tua itu. Tahu.
Ia hanya duduk di suatu sudut, tak ada petak, tak ada papan. Telah berpuluh tahun ia di situ. Mereka di situ. Maka bolehlah dikatakan mereka adalah kolega kerja yang saling setia berpuluh tahun. Keputusan pension ada di tangan mereka, namun tak juga mereka mau menandatnganinya.
Bagian lantai dua dari pasar ini boleh dibilang sebagai panti werda karena sebagian besar diisi oleh sesepuh pasar, itu pun hanya menempati sebagian los pasar yang ada di lantai dua. Lantai dua semakin kehilangan penggemar, karena pembeli mana yang rela naik turun-tangga untuk melihat dagangan yang pilihannya terbatas.
Entah yang mana yang menjadi penyebabnya lebih dulu, pedagangkah atau pembelikah. Bisa jadi karena banyak pedagang yang enggan ke lantai dua sehingga pembeli pun menurutinya. Atau pun pembeli yang enggan ke lanatai dua sehingga pedagang menurutinya. Di lantai satu, area pasar meluas hingga ke pinggir-pinggir jalan, lapak-lapak kecil, khas tipikal pasar tradisional. Suasananya selalu semarak, daun-daun hijau segar di atas keranjang bamboo atau dihamparkan di pinggir jalan, warna warni buah menyolok pandang, ribut mulut-mulut berunding harga, sambil terdorong ke sana ke mari, dan kadang dikagetkan dengan teriakan orang “awas, air panas!”, tapi hanya kardus yang dijunjungnya. Benar-benar hidup!
Lantai dua, suasananya seperti umur para penghuninya, diam menunggu waktu. Warna-warna yang ada pun seragam.  Sederhana, sama dengan prinsip hidup penghuninya. Sederhana namun setia.
Sang lelaki tua sudah menjalani hidup yang lurus. Ia melakukan apa yang kebiasaan perintahkan kepadanya. Biasa jika lelaki itu menikah, biasa jika lelaki itu bekerja, biasa jika ia berdagang, biasa jika ia harus berkeliling kampong menjajakan tempe yang tak habis di pasar, biasa jika hanya berobat ke mantri, biasa jika sepedanya dicuri orang, biasa jika harus mebuat tempe hingga lewat tengah malam, biasa jika tempe yang tak laku menjadi busuk,  biasa jika ikut kenduri di rumah tetangga, biasa jika anak-anaknya saling merengek, biasa jika istrinya pergi mendahuluinya.
Lelaki tua, wanita bertubuh gempal, dan wanita penjual tahu adalah rekan kerja yang memiliki keterikatan. Sahabat, orang menyebutnya masa kini. Dari obrolan hari ke hari, berpuluh tahun, telah saling diketahui seluk beluk masing-masing keluarga.
Tetapi sebenarnya, selain dari mereka bertiga, ada seorang lagi sahabat bagi mereka, roh pasar itu. Walau lebih nyata kehidupan di lantai satu, namun roh pasar lebih suka di lantai dua. Di tempat itu ia dapat berkumpul dengan sahabat-sahabat sejak kecil ia tumbuh. Lain dari sahabatnya, roh pasar tidak punya saudara atau keluarga. Keluarganya adalah penghuni pasar lantai dua. Ia bebas meyusup ke orang-orang tua yang berbincang, berleha di langit-langit yang bersawang dan kadang dikagetkan oleh burung wallet yang menyambar.
Sang lelaki tua lupa sejak kapan ia menyadari kehadirannya. Yang pasti roh pasar selalu mendampinginya di pasar ini. Roh pasar menemaninya saat ia tercenung merenung di hadapan anak-anaknya, saling bercakap tentang hal yang paling massiv, hidup. Mereka berdua membayangkan kilas balik hidup mereka, meruntuti jejak-jejaknya hingga sampai pada saat ini, terkadang sambil bertanya pada Tuhan. Namun mereka setuju untuk tidak menuntut Tuhan.
Sambil menyeruput kopi yang baru diantar penjaga warung makan, lelaki tua itu tersenyum dan mengatakan betapa nikmatnya kopi itu. Sayang, roh pasar hanya dapat menghirup baunya  saja.

Sang roh pun kini telah tua, walaupun tak ada yang pernah tahu kapan roh akan mati. Namun roh pasar merasa tua. Ia merasa kulitnya semakin kerput ketika melihat los-los pasar yang kosong. Ia merasa los –los itu adiknya yang kini menatapnya kosong tak berdaya.
Namun, demi melihat los-los itu ditiduri lelaki-lelaki mabuk tak berguna yang berkeliaran di pasar, papan-papannya dijadikan medan judi, ia merasa adiknya diperkosa! Tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Ia merasa rambutnya turut memutih mengikuti lelaki tua ketika terpaksa membiarkan pilar-pilarnya dijadikan tameng lelaki tak beradab untuk kencing.

Tak sekali sahabat-sahabat roh itu membantu dengan menegur lelaki dengan otak di lutut itu, namun sebagai akibatnya lelaki itu membawa teman-temannya, preman kelas kambing, sangat menunjukkan siapa dirinya.

Mungkin orang-orang tua memang ditakdirkan kalah. Orang-orang berdehem, mengangguk surut. Saatnya orang-orang muda berbicara. Begitu yang kerap terdengar, terbaca, di mana-mana. Orang-orang tua itu semakin bingung dengan orang muda,  artinya, kemauannya, dan perilakunya. Berbagai peristiwa telah terlewati oleh orang-orang tua itu, namun yang paling sulit dipahami mereka adalah orang-orang muda  yang menyebut diri saudara.

Beberapa bungkus tempe yang tersisa sudah merajuk manja meminta pulang. Mungkin mereka sudah tahu akan tanda-tanda  waktu senja, atau mungkin mereka sebenarnya takut dengan burung-burung wallet yang semakin banyak berkelebatan hinggap di langit-langit pasar. Pulang.

Sang lelaki tua menuruni tangga dengan satu kantung plastic tempe yang belum terjual. Di kanan kiri beberapa penjual sudah mulai membereskan dagangan, sisir plastic yang berjari tajam,cermin kecil, sisir serit untuk menyisir kutu rambut, sandal plastic aneka ukuran aneka warna. Tapi masih ada beberapa pedagang pula yang masih tekun menajajakan dagangannya berupa segenggam cabai merah sedikit busuk, segenggam bawang merah-putih yang kehitam-hitaman, sisa tumpahan perjalanan dari truk ke los pasar, atau yang memang disisakan oleh pedagang besar.

Sampai  di luar pasar, jalanan agak padat oleh kendaraan, suasana yang lain dari biasanya. Sebuah kendaraan alat berat berwarna kuning merayap di jalan pasar, diikuti oleh motor-motor yang meliuk-liuk di belakangnya. Tanpa bertanya, dari para tukang becak, lelaki tua tahu alat-alat berat itu akan digunakan untuk menebang pohon beringin yang merindangi para penjual makanan mencari rezeki di seberang pasar, malam ini.
Untuk apakah perlunya pohon itu ditumbangkan? Lelaki tua itu bertanya dalam hati. Seorang tukang becak mengabarkan akan dibangun sebuah mall di seberang pasar. Lelaki tua melihat wajah-wajah resah mereka yang melihat kendaraan alat berat itu, termasuk tukang becak di dekatnya. Entah resah karena kemacetan langka ini atau hal lain menyangkut sesuatu berbunyi ‘mol’ itu, pikir lelaki tua itu.Kedengarannya seperti sesuatu yang mengancam.
“M..mol itu apa?,” lelaki tua bertanya kepada tukang becak yang menatap nanar ke tengah jalan. 





Tertinggal



Akhirnya aku menemukan kesan sejati yang tertinggal di hatiku ketika membaca berita itu. Beritu tentang kecelakaan lalu lintas. Seorang pengendara motor tewas karena tenggelam di got saat terjadi hujan deras.
Banyak yang terlintas sepintas secepat kilat, saling berkelebat di kepala saat membaca keseluruhan berita. Sedikit lucu dan konyol, bukan? Sedalam apakah got yang dapat menenggalamkan orang? Dan got? Terbayang air hitam yang mengalir deras saat hujan lebat di Jakarta ini. Tapi, sungguh mengerikan jika kita melanjutkan tertawa ketika membaca berita kematian. Tak diketahui identitas sang pengendara. Aku mempertanyakan di awang-awang bagaimana si pengendara dapat jatuh ke dalam got. Apakah dia tidak melihat got yang seharusnya sungguh sangat besar sehingga dapat menenggelamkannya? Jawab akalku, mungkin air got meluap sangat banyak sehingga menggenang seperti banjir dan si pengendara tidak sadar ia akan menuju lubang kematiannya. Mengapa ia tidak lompat saja ketika merasa motornya akan jatuh?  Ia, termasuk aku, tentu tidak menyangka hidupnya akan berakhir di tempat yang sangat, boleh dibilang, sepele. Kematian dapat datang di mana dan kapan saja, teman.
Pada berita diceritakan, saksi mata melihat sang pengendara jatuh  bersama motornya dan langsung hilang tergerus arus deras. Ini juga membuatku sedikit terkejut. Ternyata ada saksi mata, mengapa si pengendara tidak tertolong? Akalku menjawab, tentu tidak sesederhana itu. Kondisi lapangan dapat membuat otak dan hati menjadi tidak akur. Dan kebanyakan otot-otot tubuh akan selalu berpihak pada si otak. Seperti pemilu, dua pun menang dari satu. Korban yang tak terselamatkan tentu bukan alasan kita untuk musuhi saksi mata , walaupun aku bertanya-tanya usaha apa yang mereka lakukan untuk menolongnya. Usaha itu mungkin saja ada, mungkin saja tidak.
Asumsiku, got dibuat lebar dan masih sampai meluap, tentu tempat tersebut sangat padat pertokoan atau rumah tinggal sebagai akibat strategisnya tempat tersebut. Pasti jalanannya sangat ramai. Jalanan sangat ramai. Aku membayangkan di tengah hiruk pikuk hujan deras, kemactan motor dan mobil memburu pulang ke rumah sehabis kerja, seseorang hilang di keramaian. Dan hidup mengucapkan selamat tinggal padanya.
Maksudku, yang selama ini kuketahui, banyak sebab orang meninggal. Sakit keras, kecelakaan yang mengakibatkan trauma akut pada organ tubuhnya, ataupun tiba-tiba saja meninggal. Ada juga orang meninggal tenggelam di laut, di sungai, dan di kolam renang. Sangat mudah diterima karena tentu sangat sulit dan jarak terlalu jauh untuk menolongnya. Tetapi di kejadian ini, mungkin saja ketika si pengendara jatuh,setengah meter di sebelahnya, ada orang lain juga. Aku bukan menyalahkan saksi mata kenapa tidak menolongnya. Aku tidak melihat kondisi sebenarnya. Yang aku camkan bahwa tragis sekali ia tidak tertolong pada kondisi yang secara logika manusia seharusnya ia dapat terselamatkan. Benar, bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari kematian walaupun berlindung di benteng yang kokoh, memiliki badan sehat, dan tangan orang lain untuk berpegangan.
Pada keramaian petang ber-hujan, ia terpisah dari rombongan kemacetan, ia terpisah dari hayatnya. Orang-orang yang lalu lalang mungkin akan behenti, bertanya, lalu bersedih, dan kemudian melanjutkan perjalanan. Dan ia tetap tertinggal.


Minggu, 30 September 2012

WAKTU

Mungkin mereka berdua terlalu berhati-hati, begitu pikir Bian. Takut kaki mereka dilangkahkan ke arah yang salah, menuju kekecewaan. Biarlah waktu yang menuntun kaki ini, Bian memutuskan. Dan berharap kaki mereka akan bertemu, kakinya dan kaki Bumi.

Dan pada waktu itu pun, Bian kembali berdoa, berharap sekeping ini dari keseluruhan semesta waktu yang ada,dapat menjadi penuntun langkah kakinya. Sedikit petunjuk pun tak mengapa, ia sudah sangat berterima kasih.

Bus yang mereka naiki sangat penuh, terisi oleh teman-teman mereka. Suasana yang hiruk pikuk dalam kesamaan seragam yang mereka kenakan tak mampu menyamarkan pandangan hati Bian kepada Bumi. Sekali-kali, Bian mewujudkan pandangan itu secara lahir dan ia menemukan jawaban yang ia cari dalam mata Bumi yang sedang terarah padanya.

Bus melaju dengan Bian dan Bumi didalamnya. Apakah waktu sedang berbicara keppadanya? Bian menatap kertas-kertas berisi pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya dibagikan kepadanya.

Apakah yang Anda ketahui tentang waktu?

Bagaimana hubungan antara waktu dengan hidup?

Definisikan waktu dengan kata-kata Anda sendiri!

Bian tak dapat menemukan jawabannya. Bian memegang kertas-kertas itu dengan erat. Pandangannya berpusat pada tulisan-tulisan di atas kertas. Bus itu berjalan menanjak dengan cepat. Dirasakannya angin yang terlalu kencang menerpa wajahnya dan kertas-kertas berhamburan terlepas dari tangannya.

Bian tahu sesuatu telah terjadi. Tetapi ia merasa baik-baik saja, walau sedikit kedinginan. Ia berdiri di tepi jalan dengan kemacetan terjadi di sepanjang jalan di sampingnya. Ia melangkahkan kaki ke depan dan kemudian berpapasan dengan beberapa temannya. Beberapa di antaranya menangis dan ketakutan. Ketakutan itu serta merta menulari Bian yang mulai berdebar-debar.

Semakin jauh ia melangkah, keramaian semakin padat. Tapi, sayangnya itu keramaian duka, Bian menyadari. Bian terlalu takut untuk bertanya pada teman-temannya yang semakin banyak berpapasan dengannya. Dan di sana, tempat di mana sebelumnya ia bernaung, tengah tergeletak melintang di tengah jalan. Bus itu kalah. Selainnya, ada kendaraan-kendaraan yang berposisi dengan tak semestinya. Suara tangis dan rintih mengendap di udara.

Bumi. Di mana dia? Bian tersentak mencari. Matanya blingsatan mencari sosok Bumi di tengah kaburnya pandang oleh air mata. Ia langkahkan kakinya dengan tekad sekuat-kuatnya untuk menemukan kaki Bumi. Ia tak peduli lagi apakah apakah waktu telah memberikan izinnya atau tidak. Kali ini ia akan mengabaikan waktu, Bian bertekad. Bumi, tunggu aku! Bian menjerit.

Ia berhenti di depan sebuah rumah. Halamannya yang menyempit memanjang dan dinaungi dedaunan pohon yang rindang, memaksanya memusatkan pandangannya ke sebuah pintu yang terbuka. Ada sepotong wajah di sana. Di wajah itu, Bian dapat melihat luka yang sangat dalam. Wajah itu menatap Bian sedalam-dalamnya. Wajah itu milik Bumi. Bian ingin selamanya seperti itu. Dengan cara itu, Bian dan Bumi biasanya berbicara.

Dan akhirnya Bumi tak mampu lagi menatap Bian lebih lama. Wajahnya ditundukkanoleh tangis yang hanya bisa diterjemahkan oleh Bian. Bian mencoba masuk ke dalam rumah itu. Di sana ia menemukan sebuah meja dan di atasnya terdapat beberapa helai kertas. Kertas-kertas yang Bian genggam untuk untuk terakhir kalinya. Terdapat noda cokelat kemerah-merahan pada kertas itu, dengan titik-titik basah mengelilinginya, penanda jejak air mata yang baru menghilang. Kembali ia baca tulisan-tulisan di atas kertas.

Pertanyaan-pertanyaan itu, Bian masih belum bisa menemukan jawabannya. Tapi satu yang Bian yakini, waktu telah memberikan jawaban untuknya.

Rabu, 26 September 2012

Si Mungil Cantik Pulau Kayu Angin Bira


Biasanya perjalananku telah direncanakan jauh-jauh hari, minimal seminggu sebelumnya. Tapi kali ini tidak, kira-kira hanya H-2. Dan tujuannya adalah ke Kep. Seribu, lebih tepatnya Pulau Kayu Angin Bira. Ajakan perjalanan ini datang dari seorang teman yang cukup expert dalam kegiatan outdoor. So, sangat-sangat antusias karena biasanya kalau jalan dengan orang dengan tipe seperti temanku ini perjalanannya adalah versi ransel aka gembel (ini yang aku cari J).
Perjalanan dimulai di halte busway grogol sebagai meeting point, dengan sebelumnya aku menumpang busway pertama (pukul 5 pagi). Sebenernya agak-agak heran juga, kenapa pagi banget. Ternyata pas sampai Muara Angke, wow.. sudah sangat banyak orang yang akan ber-wiken ria di Kep. Seribu.
Setelah kurang lebih perjalanan 2 jam lebih naik kapal tongkang, kami sampai di Pulau Kelapa yang bergandeng dengan Pulau Harapan. 
Sembari beristirahat di tempat Bapak Eman yang akan mencari perahu jukung untuk kami, kami berdikusi yang kesimpulannya bahwa kami melakukan snorkeling juga di tiga spot. Imbasnya, di dompetku hanya bersisa satu lembar uang dua ribu rupiah. Baru kali ini, dalam perjalanan duit di dompet sangat miris keadaannya. Tapi tidak hanya aku, teman-temanku pun sama keadaan dompetnya. Out of budget!
Tinggalkan urusan dompet, mari terjun ke laut! Subhanallah, pemandangannya cantik sekali ternyata. Dari atas, air laut terlihat jernih kebiru-biruan, dan di baliknya ada warna-warni yang begitu beragam. Terumbu karang, ikan-ikan warna-warni, bahkan bulu babi pun terlihat cantik dari dekat. Semarak sekali!
Matahari telah ada di barat, ketika kami memutuskan untuk mengubah tujuan menginap kami. Ada kabar dari temannya temanku bahwa beberapa waktu lalu, temannya tersebut dijemput patroli karena menginap di Pulau Kayu Angin Bira, karena sang pulau sedang dalam konservasi. Kami memutuskan untuk ke Pulau Bira (letaknya berhadapan dengan Pulau Kayu Angin Bira) sebagai tempat membangun tenda kami Tapi setelah menerima info lebih lanjut, diperlukan biaya dua ratus ribu rupiah untuk menunaikan hajat kami tersebut. Terlebih kata Bapak nelayan yang mengantarkan kami, tidak ada larangan untuk menginap di Pulau Kayu Angin. Maka, dibangunlah tenda kami di sana.
Pulau Kayu Angin Bira tidak besar, dan menurut info Bapak Nelayan, adalah kepunyaan Pak Benny (Who is he?). Tapi karena, hanya kami yang menginap di pulau tersebut, maka bolehlah kami menganggap pulau itu adalah pulau pribadi kami pada hari itu.  Pasirnya sangat halus dan putih. Airnya tenang seperti kolam renang dan sangat jernih.

Malam hari, separuh bulan muncul. Doom (tenda kecil) dibangun agak masuk, di balik semak dan pepohonan. Di bawah sinar bulan dan sebatang lilin, sambil menghirup kopi jahe, terpencil di sebuah pulau di Laut Jawa, tanpa direncanakan, kami membicarakan paham spiritual, filsafat, politik, dan manusia. Menyenangkan sekali rasanya. 
Tapi di tengah obrolan itu, aku samar mendengar suara mesin kapal mendekat. Ketika aku mengatakannya ke temanku, ia malah bilang kalau merasa sedang di-senter-i. Maka lilin pun kami matikan, dan suara kami pelankan. Khawatir kapal tersebut adalah kapal patroli. Tapi kami berasumsi bahwa jika kami tidak menyalakan api unggun, then it’s ok.  Sampah-sampah yang kami buat pun, kami bawa kembali pulang esoknya.
Karena tim kami enam orang, dan hanya ada satu doom, sesuai tujuan temanku ke sini, makan kami bertiga menggelar sarung dan sleeping bag di pantai. Sisanya meringkuk di doom. Nikmat sekali tidur di beralas pasir beratap langit dan bintang. Dan juga diiringi desir ombak yang lembut. Sungguh, aku merasa beruntung pernah merasakan itu semua.