spring

Minggu, 09 Maret 2014

Menyebrangi Dieng naik Prau


24 November 2013

Perjalanan ini adalah perjalanan ke-dua saya dalam menginjak tanah Dieng. Jika sebelumnya saya bersama beberapa teman berangkat berombongan menggunakan bus dari terminal Pulogadung, kali ini berbeda karena saya berangkat hanya dengan seorang teman, yaitu tante Rina, dari Jakarta, sedangkan beberapa teman yang lain sudah lebih dahulu menikmati dinginnya Dieng.

Minggu pagi sekitar pukul 5 pagi kami sudah meluncur naik Burung Biru ke terminal Lebak Bulus untuk mengejar bus jurusan Wonosobo yang menurut di internet berangkat pukul 6 pagi. Sampai di Lebak Bulus, antrian sudah mengular. Di luar dugaan saya, ternyata banyak juga yang malam sebelumnya sudah menginap di terminal Lebak Bulus. Berpikir cepat, tante Rina mengomando saya untuk lebih dulu ke bus untuk mencari tempat duduk (karena tidak ada sistem seating), sementara tante Rina mengantri tiket.

Ketika saya naik ke bus, ternyata hampir semua kursi sudah terisi. Petugas Po bus sibuk mondar mandir sambil memegang salinan tiket. “Yang nggak punya tiket, turun dulu!” serunya. Wah, kacau ini..  Saya pun turun dan petugas itu pun sudah dikelilingi orang-orang yang berburu tiket.  Beruntung saya kecil, jadi bisa merangsek ke hadapannya tanpa melukai ke orang lain. “Pak, sudah penuh ya?” tanya saya di tengah hiruk pikuk. “Nanti ya, Dek..” katanya sambil sibuk bertatap dengan hape-nya. Saya pun di ditelepon tante Rina yang mengabarkan kalau tiket sudah habis. Alamak..
“Gimana Pak?,” tanya saya setelah si petugas selesai ber-telepon.  “Sebentar, saya hitung dulu.” Jawab si Pak Petugas. Tik tok tik tok.. “Masih ada tiga!” suara si petugas terdengar jernih di tengah kebisingan. “Ini Pak, dua orang,” sambar saya sambil mengulurkan uang. Setelah menerima karcis saya pun langsung melompat ke atas bus dan mengabarkan kabar gembira ini ke Tante Rina. Rezeki pagi-pagi. Pukul 6 lewat sedikit pun, saya dan Tante Rina meluncur meninggalkan Lebak Bulus menuju Wonosobo.

Perkiraan kami bahwa bus akan sampai ke terminal Wonosobo sekitar pukul 5 sore, ternyata meleset. Begitu pula dengan bus Wonosobo-Dieng yang ternyata pukul 6 sore sudah tidak beroperasi lagi. Kondisi hujan, menimbang ini-itu, dan karena kebaikan petugas Po. Bus yang kami tumpangi tadi, kami pun menumpang menginap di pol bus tersebut di terminal Wonosobo. Malam yang gerimis saat itu terasa hangat karena makanan lezat nan murah yang dijual seorang ibu di terminal dan bincang-bincang ringan tentang buruh dan kuliner serangga dengan para tukang ojek. Tak sampai larut, saya dan tante Rina pun terlelap di bangku panjang yang jika siang hari berfungsi sebagai tempat duduk bagi para penumpang yang menunggu keberangkatan, cukup nyaman dan bersih.

Si Ibu kantin sedang membuat gemblong (baca 'o': seperti 'bolong')

Esok paginya, setelah say goodbye dengan Pakde Sembur si petugas bus, kami pun menuju Dieng, dan sekitar satu jam kemudian sudah bertemu teman-teman lain yang telah lebih dulu sampai, yaitu Fathur, Hafiz, Kakak Maria, Husna, dan Icha.

Setelah beristirahat, siang harinya kami ditemani Mas Amim, Mas Biyan, dan Mas Agus yang merupakan ‘juru kunci’ Dieng naik ke puncak Sidengkeng untuk melihat Telaga Warna secara keseluruhan di mana kedua warna telaga dapat terlihat jelas, lengkap dengan background gunung Sumbing yang sedang bertopi awan di puncaknya. Kemudian  kegiatan sightseeing dilanjutkan ke mata air Sumur Adem Semar dan Kawah Sedringo, yang view-nya mirip dengan Ranu Kumbolo.

View dari puncak Sidengkeng

mata air Sumur Adem Semar

 Sekitar pukul 3 sore, kami ber-sepuluh memulai perjalanan ke gunung Prau melalui belakang gedung SMP (lupa nama SMP nya). Mula-mula kami jumpai perkebunan kol dan kentang beserta ibu bapak petani yang sedang bekerja. Tak menunggu lama kami pun sudah memasuki hutan,  dan kami pun disambut segerombol bunga daisy yang sangat cantik. Sungguh sebuah ucapan selamat datang yang menyenangkan setelah melalui tanjakan yang cukup aduhai. Ketika selfie belum meraja dan narsis masih bekerja, kami teman-teman saya pun bergantian mengekspresikan sisi romantis humanis mereka berbagi waktu dengan alam. Dan ternyata pertunjukan keindahan bunga daisy tak ada habisnya sampai beratus-ratus langkah selanjutnya. Kami pun harus menahan kamera untuk tidak terus-terusan memotret si primadona daisy kalau memang mau sampai di tempat camp.

Welcoming from daisy
 
Setelah dua jam melangkah, hujan deras pun mengguyur.  Dengan memakai jas hujan kami terus melanjutkan langkah. Saat itu yang saya khawatirkan adalah kamera saya. Please jangan jamuran lagi, sayang...
Ketika melewati shelter pemancar, kami pun berhenti untuk beristirahat dan hujan juga turut berhenti. (pingin ngeluh tapi masih banyak doa yang pingin dikabulin)

Setelah beristirahat cukup, perjalanan dilanjutkan. Kami melewati punggungan di mana terhampar bentangan jurang di sisi kiri kami. Kami berhenti sebentar untuk menikmati angin yang berhembus dengan bersahabat. Dinginnya enak. Ditambah lagi kami memetik beberapa buah arbei yang semak-semaknya tumbuh di sisi kanan.  Such a pleasure!

Kemudian kami pun melewati suatu tempat yang seingat saya keadaannya mirip dengan Kalimati, dengan dominasi rerumputan warna kuningnya. Dan saya merasa sedikit keanehan di sini. Kabut sangat tebal saat itu. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter. Tanpa saya sadari saya sudah berada di paling belakang barisan dan berjarak beberapa meter dengan teman di depan saya (sebelumnya saya ada di tengah). Saya tidak terlalu khawatir, karena di belakang masih ada Hafiz dan Icha walau tidak terlihat oleh saya. Saya berniat memanggil salah satu dari mereka, dan saya kaget karena ternyata mulut saya sedikit kaku untuk digerakkan. Ya Allah, no hypo no hypo no hypo.. saya berkata dalam hati. Dan kemudian sambil berjalan saya menggerak-gerakkan tangan dan mengeja a-i-u-e-o. Dingin sekali saat itu. Sudah beberapa level di atas ‘enak’. Beberapa saat kemudian kami pun dapat berkumpul, dan melakukan sesi foto yang menghangatkan kembali badan saya. Tolong dicatat ,ini bukan bukti bahwa saya banci kamera ya.. :p

Setelah beberapa waktu berjalan kembali setelah sesi foto, ekitar pukul 6 sore lebih sedikit kami pun tiba di tempat untuk membangun tenda. Hanya ada dua tenda kelompok lain yang sudah berdiri. Kami pun membangun tiga tenda untuk kami bersepuluh. Lepas maghrib, kami makan malam dan dilanjutkan acara tertawa bersama-sama antara Fathur, kakak Maria, Husna, Icha, & saya, sementara bos Hafidz sibuk berbisnis. Tante Rina dan Mas Amim, mas Biyan, serta mas Agus langsung istirahat* (*=tenda terpisah) setelah dinner.

Ketika akan istirahat di tenda sebelah, kondisi tempat camp sudah sangat ramai. Sangat ramai. Sepertinya sunrise besok akan seperti pasar. Dan benar saja, esoknya spot-spot terbaik sudah penuh. Dan lagi ternyata dinginnya sangat menggigit dan hembusan anginnya sangat aduhai. Saya hanya mengambil beberapa gambar asal jepret, selebihnya sibuk melompat-lompat mencari hangat. Walaupun demikian, pengalaman pada momen pada sepotong pagi itu tetap bernilai untuk dimiliki. I thank Allah for having it.

morning spectrum
 
Hobbit land

 Kami menjelajahi beberapa spot untuk memotret setelah keadaan tidak terlalu ramai. Ada satu tempat di mana gunung Slamet terlihat dan Dieng terlihat seperti maket di spot lainnya. 

Setelah kamera kami kenyang akan jepret-jepretan, giliran kami yang mengenyangkan perut masing-masing dengan pop mi. Setelah perut kenyang, selanjutnya hasrat narsis kami yang lapar perlu dikenyangkan. Sangat istimewa sajiannya yaitu, kontur yang mirip bukit teletubies dengan signature dish-nya Prau yaitu hamparan bunga daisy yang melimpah ruah. Dan hasilnya, pose dengan Edward Cullen-Bella Swan kawe muncul dari sini :D

ramean (photo owned by Fathur)

 Saatnya turun dari Prau. Kami melewati jalur yang berbeda dengan yang kami lalui ketika berangkat. Jalur turun ini akan bermuara di base camp pendakian gunung Prau (sebelum penginapan Bu Jono  kalau dari Wonosobo).  Waktu perjalanan turun sekitar dua jam. Tante Rina dan saya yang mencapai basecamp lebih dulu menyempatkan sowan ke rekan tante Rina yang ada di base camp. Setelahnya kami pun langsung menyusul teman lain yang sudah beristirahat di kediamannya mas Amiem.

Waktu bergerak cepat dan karena tak mau ketinggalan bus ke Jakarta, pukul tiga sore kami pun berangkat ke terminal Wonosobo setelah sebelumnya farewell dengan tiga serangakai  Amim-Biyan-Agus. Di terminal Wonosobo kami bertujuh pun berpisah: saya, tante Rina, kakak Maria, dan Husna ke Jakarta; Icha ke Purwokerto; dan duo-homo-travel-freak Fathur-Hafiz melanjutkan ke Malang menuju Semeru. Auf Wiedersehen!