spring

Sabtu, 27 Februari 2016

Mengasingkan diri di Pergasingan



Kebiasaan tak baik saya sering deadliners masih saja terulang, termasuk malam itu yang selalu packing last minute sebelum perjalanan dimulai. Trip terpanjang selama 2 minggu saja, saya ‘hanya’ packing sekitar 2 jam sebelum  mesti cabut ke pol travel, apalagi untuk trip ini yang hanya sekitar 6 hari (jangan ditiru kebiasaan ini). Maka jadilah saya malam itu baru packing setelah pulang kantor sekitar jam 12 malam, untuk penerbangan jam 5 subuh esok paginya. Kawan trip yang berangkat dari Jakarta pula, Aul, bilang pun sepertinya nggak akan tidur. Oke.
Sekitar jam 3 lewat saya bersiap keluar dari kosan. But then, Aul nggak ada kabarnyaa..
Ketiduran pasti nih bocah, pikir saya. Karena sudah last minute, saya pun langsung mencari taksi sambil selama perjalanan di dalam taksi terus men-dial nomor si Aul. Masalahnya adalah saya nggak tau kosan Aul di Jakarta, jadi sambil memikirkan plan B kalo Aul nggak bangun juga, saya tetap menuju Gambir, meeting point rencana awal. Untungnya, ketika sampai di Gambir ada kabar dari Aul! Horee..
Skip skip, akhirnya kami sampai di Soetta. Tapi kemudian saya lupa masalahnya apa, kami turun di terminal yang tak seharusnya. Akhirnya kami kembali cari taksi untuk ke terminal yang semestinya. (tajir abis lah taksi-an mulu, tapi sudah last minute sih, jam 4 lewat saat itu). Dan saya menemukan teori nggak penting: deadliners selalu menciptakan drama atau drama selalu mengikuti seorang deadliners. Tapi sebenarnya deadliner menyukai kejutan-kejutan, maka jadilah ia mencari drama dengan menjadi seorang deadliner. Bingung, kan? (sama :) )
Jadi ini ternyata bapak supir taksinya nggak tau jalan (pikir saya saat itu), kita malah muter-muter ke arah yang nggak jelas dan lebih sepi. Paak, udah jam setengah 5 ini Pak! Saya Cuma mikir gimana nih kalo ketinggalan pesawat. Selama sejarah per-travelling-an saya yang masih se-upil ini belum pernah saya ketinggalan pesawat, kereta, dll., walaupun saya seorang deadliner (sombong, awas ntar kualat). Well, kalau si Aul punya cerita lain. Pas kita sudah di pesawat, dia bilang dia sudah siap-siap buka pintu taksi kalau si Bapak macem-macem. (Trus ninggalin gw gitu..?!)
Ya, jadi tau kan akhirnya kita berhasil nggak ketinggalan pesawat, dan akhirnya kami sampai di Lombok pagi itu. Kami menunggu Bang Imboer, rekan kami orang asli Lombok, dan satu lagi rekan dari Bandung, Dika. Setelah semuanya kumpul, dan ada tambahan Bang Encep, orang Masbagik juga, kami langsung meluncur ke Masbagik. Dan kemudian jam 11 siang kami pun makan. Makan sederhana di pinggir jalan tapi sumpah enak banget (first notification, bahwa mungkin nanti akan banyak frase-frase semacam itu di tulisan ini :p). Makan siang kami siang itu: plecing kangkung (pastinya), telur dan semacam kuah kari, dan pepaya. Uniknya, pepayanya ditaburi gula pasir dan diberi perasan jeruk nipis (nulis ini sambil nelan ludah).

Makan siang hari pertama




Setelahnya, kami pun menuju rumah Bang Imboer untuk bersih-bersih sebentar.  Dan ternyata saat itu si Dika baru tau kalau rencana kita siang itu adalah tracking. Padahal sudah dikasih tau itin-nya berminggu lalu (-_-, namanya pak direktur sibuk kali ya..? haha).

Kami pun lalu menuju ke desa Sembalun untuk menuju ke bukit Pergasingan dengan ditemani Bang Kun and Bang Encep (Bang Imboer kayaknya melipir kalo yang pake fisik :p). Di jalan, si Dika minta berhenti sebentar untuk beli jeruk. What? Agak gimana gitu bawa buah-buahan kalo pas nanjak (inget pengalaman ke Semeru bawa apel malang 2 kilo). Dan lalu Dika ngejelasin buah itu sehat, food combining, dll. Ya gw juga tau, soalnya gw pernah juga nyobain jadi frutarian (walaupun Cuma bertahan selama beberapa hari). Dan kemudian dilanjutkan dengan debat sambil tuh sekantong jeruk ada di mobil. Dan si Aul Cuma cengar-cengir. 

Sekitar jam 4 sore kami memulai pendakian. Setelah melalui jalan kampung dan melewati beberapa anak tangga, track sempit panjang menjulang tinggi mengahadang di depan kami. Mostly, kemiringan sekitar 60 derajat. Panasnya amboii..!! Tapi untungnya diimbangi dengan semilir angin dingin yang sering berhembus, dan tentunya pemandangan yang memanjakan mata di belakang kami. Gunung Rinjani yang menjulang di belakang kami tertutup awan sore itu.




Bang Kun si Superman



Dua jam setengah kemudian kami pun sampai di camping spot. Matahari sudah pamit setelah menyuguhkan sunset yang oke di ketinggian, as always. Setelah membangun 2 tenda dan makan malam dengan koki Bang Kun dan Bang Encep (sebenarnya master chef di sepanjang trip ini, makasih Abang!!), kami lalu menikmati suguhan bintang-bintang di atas lampu-lampu malam desa Sembalun. Saya masih masih terus bercakap dengan malam sampai mereka pergi tidur lebih dulu. Mereka berulang kali bertanya dari dalam tenda, am I okay being outside all alone? I do really okay, because it’s one of my me-time! Hanya ditemani segelas kopi racikan Bang Kun dan si Niki, saya pun memadu kasih dengan sang hayat.

Organic vs artificial stars (which one do you prefer?)


Pagi menjelang. Kami pun bangun dari tidur malam ditemani angin yang heboh (salah satu frame tenda Bang Kun sampai patah), dan bersiap menyambut sunrise. Setelah cekrak cekrek dengan muka bantal, dan matahari sudah sepenuhnya terbit,  pemandangan di depan kami sungguh spektakuler. Walau gambar akan berbicara lebih, tapi inilah di depan tenda kami: desa Sembalun dengan dikelilingi persawahan serta bukit-bukit, dan gunung Rinjani berdiam dengan agung di sebelah kanannya, seperti mengawasi kami makhluk-makhluk  lemah di bawahnya. Nggak bosan-bosan rasanya melihat itu semua, dengan mata sendiri maupun melalui mata si Niki.

di puncak Pergasingan

Sampai jumpa Rinjani!



Enggan beranjak, tapi kami mesti turun pagi itu untuk menuju pelabuhan Kayangan siang itu juga. Dan ternyata perjalanan turun tidak lebih mudah daripada ketika naik. Yang biasanya bisa sedikit berlari untuk track turun, tapi kali ini sulit dilakukan karena kemiringan yang cukup terjal. Dan jam 12 siang kami sudah sampai di Masbagik lagi dengan membeli nasi bungkus yang murah dan enak (sudah dapet ayam goreng J).

Salah satu rumah di Sembalun

Tulisan ini saya akhiri di sini dulu. Tadinya saya berencana menulis keseluruhan 6 hari perjalanan dalam satu tulisan, tapi sepertinya akan terlalu panjang dan juga mengingat PR kuliah yang banyaknya menyaingi gunung Rinjani. Harap maklum dengan ke-tidakkonsisten-an saya dalam penggunaan gaya bahasa. Lebih mending saya punya banyak gaya bahasa kan daripada kebanyakan gaya :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar