Pertama,
maafkan saya jika tulisan ini berakhir panjang, karena begitu banyak yang ingin
saya tuliskan tentang perjalanan ini. Tapi, let’s see then…
Kedua? Gak ada
sebenernya,, :D , tapi demi keluhuran tata Bahasa Indonesia saya perlu
menuliskan kata ‘kedua’. #penting ya?
Tidak seperti
trip nanjak sebelumnya, untuk kali ini saya memberi tau ibu kira-kira dua
minggu sebelum berangkat. Sesuai prediksi dengan ilmu probability &
statistika, begitu banyak wejangan dan nasihat membanjir selama dua minggu itu…
Ibu saya
termasuk orang yang jarang travelling untuk rekreasi, dan anehnya tiba-tiba
jadi komentator dan kritikus handal untuk persiapan nanjak ini, termasuk
mengenai porter. Mendengar jumlah kami yang bersepuluh ibu saya menyarankan
menggunakan porter 2 orang untuk guide dan sweeper. Well, saya memang anak
yang bandel, pesan itu Cuma saya simpan sendiri, tidak saya sampaikan ke
teman-teman sesuai amanat ibu saya. Saat itu saya pikir, biasanya satu tim
pendaki saja pikir-pikir untuk menggunakan satu porter, apalagi dua..?
Dan..
jeng..jeng.. jeng… Sesuai saran yang udah nanjak sebelumnya, keputusan terakhir
satu tim kami adalah menggunakan dua porter! Mom is always right!!
See you later
Mommy..! saying goodbye to ibu dan empek-empeknya di rumah yang tidak mampu
membujukku untuk tinggal dan gak jadi nanjak #halah
Perjalanan
dimulai hari Jumat sore 31 Mei dengan travel Transline tujuan Bandung yang ada
di sekitaran Tebet. Sampai di Bandung sekitar jam setengah sepuluh malam (agak
lama karena macet Jumat sore, namanya juga Jakarta :p), dan si Eling berbaik
hati mau jemput buat ke kosannya. Di
kosan sudah ada ada Irene yang lagi keringin sepatu pake hair dryer (kreatif
Ren,, J)
Skip skip skip
sampe besok pagi nya,, ehh.. ntar dulu,
ada yang perlu diceritain. Jadi malemnya saya beli makan ayam goreng judulnya,
pake nasi, tapi apa daya,kayaknya si bapak yang jual nggak berhasil nangkep
ayamnya (baca:bapaknya lupa bungkusin ayamnya), jadi yang dikasih ke saya nasi
putihnya aja plus lalapan. Vegetarian deh,, ya sudahlah hajar aja berhubung
belum makan dari siang :v :v
Besoknya
pagi-pagi jam setengah lima surup kita sudah cabut ke stasiun Kiara Condong,
buat naik kereta Pasundan jurusan Surabaya yang berangkat satu jam kemudian.
Setelah kawan kita yaitu Ndank sampai juga di stasiun kami langsung unjuk tiket
ke petugas dan masuk kereta. Langit masih agak gelap ketika kereta mulai
bergerak.. Bismillah.. Let’s goo..!! Yeaayy..!!
Dari semua alat
transportasi yang pernah saya naikin, yang paling saya suka yaitu kereta. Nggak
bikin mabuk, bisa lihat-lihat pemandangan, dan nggak keganggu sama jalan yang
berlobang-lobang. Jadilah saya pagi itu nikmatin pemandangan di luar kereta.
Kalo ngelewatin orang-orang yang yang lagi ngeliatin kereta, pengen rasanya
bilang,” Hei, hei, kami pergi loh.. ke Rinjani..!! ke Rinjani..!!” #penting
Selama
perjalanan lihat sawah-sawah yang menguning, bukit-bukit yang terselimuti kabut
tipis, membawa kesan tersendiri. Ada
suatu pemandangan di mana saya lihat sekelompok anak laki-laki dengan ceria
sedang main sepak bola di tanah lapang sebelah gedung sekolah yang bertuliskan
SD Cihaur Kuning, dan sekelilingnya dilingkupi persawahan dan pepohonan yang
berbukit-bukit. Sungguh suatu ‘adegan’ yang menunjukkan bahwa human and mother
nature can really get along, if we try. Lalu
melihat jalan pedesaan di tengah persawahan seperti visualisasi Desa Sukasari yang sering muncul di buku-buku
waktu jaman saya SD, di mana there’re no wars, no cries, no riots, and no bbm
naik :p. Peaceful mind.
Dari jendela
kereta suasana sekitar berubah-ubah dengan cepat, dari kota yang hiruk pikuk,
pinggiran kota, perumahan yang ramai,persawahan, perumahan yang sepi, hutan,
terowongan, dan entah apa lagi. Saya menikmati itu semua sampai saatnya sinar
matahari yang panas mulai menyorot persis di wajah. Kami berempat mulai mati gaya berhubung tidak
ada game yang bisa dimainkan. Kartu uno, dsb. nggak dibawa. Akhirnya si Eling
beli buku TTS yang dijual keliling sama pedagang di dalam kereta. Lumayan
ngebantu itu TTS buat ngisi waktu selain duo Eling & Irene yang karaoke-an
dalem kereta, cadas bener memang..
Dimulai dari
gelap sampai gelap lagi, dan kami belom sampe-sampe di stasiun Gubeng Surabaya,
wow..! Jam setengah 10 malam akhirnya sampailah kami di Gubeng, dan meluncur ke
tempat sodaranya Irene di daerah Waru buat numpang tidur, mandi, sama makan..
hehehe (makasih ya sodaranya Irene J)
Besoknya tanggal
2 Juni siang, diiringi hujan deras kami berempat ke bandara Juanda untuk
penerbangan ke Lombok Praya. Kami naik citilink yang ternyata saya pikir punya
sense of art. Sambutan yang biasanya ada dalam pesawat, ditambahi pantun oleh
mereka. “Gili Trawangan yang indah dan
elok, selamat datang di Lombok!” Well
done! Tapi sayangnya kami nggak dikasih air putih… #haus men..! #crying
tiga putri minus Ndank (photo by Eling) |
Setelah itu kami
menuju Masbagik menumpang mobil sewaan seharga 150ribu rupiah (kayaknya harga
segitu karena teman kami ada yang lebih dulu kenal sopirnya, yaitu Bang
Hafiz). Sempet mampir ke mini market
buat beli logistic yang bisa dibeli malem itu (takut besok kesiangan),
sampailah kami ke basecamp PAS (Pencinta Alam Syahir) Masbagik. Di sana sudah berkumpul anggota tim lainnya
yaitu Raul, Sam, Wafiq, Rifqi, Aul, dan Yopie. Kami akan bermalam di basecamp
PAS ini lalu kemudian esok pagi nya meluncurke Sembalun yang jaraknya kira-kira
2 jam bermobil dari Masbagik. Di basecamp, kami disambut Bang Ocep yang
langsung menggiring kami ke bagian belakang rumah di mana plecing kangkung
sudah menunggu dengan rayuannya #slurp…
Plecing kangkungnya begitu nikmat diramu oleh Mba Tya (istri Bang
Ocep). Bagian sedihnya yaitu saya yang
nggak tahan pedas.. Setelahnya,
kami diskusi untuk persiapan besok. Hasilnya diputuskan: nggak jadi porter, ada
tiga teman dari PAS yang akan menemani. J
Lanjut di part 2 ya... :)
suasana diskusi di basecamp PAS (photo by Sam) |
ya kpanjangan
BalasHapuskayak diari jeng,,tp keren
BalasHapus