3 Juni 2013. Pagi
yang cerah cenderung panas kami bersepuluh berangkat meninggalkan basecamp,
ditemani Bang Kuntet, Bang Jamil, & Bang Deco. Terik matahari nggak
menghalangi saya untuk tidur di perjalanan. Tutup muka pake topi, maka
nyenyaklah saya. Jangan tiru adegan ini
di rumah ya.. :D
Foto dulu sebelum berangkat, bareng anak-anak PAS & keluarga (photo by Eling) |
Mobil yang membawa kami ke Sembalun (photo by Sam) |
Saya baru
terbangun ketika mobil melintasi hutan. Kadang-kadang kami bertemu monyet yang
gendut-gendut nan lucu, beda banget sama monyet Sarimin.Sekira jam 2
siang kami mulai nanjak (lama banget yak?) Sebenernya sampe Sembalun jam 12
siang, terus makan siang & sholat, baru lanjut lagi jam 2.
Sepanjang
perjalanan menuju pos 1, trek masih berupa padang-padang terbuka. Kami berjalan
sambil kadang ber-say hei-hai dengan bule-bule yang turun lewat Sembalun.
Lumayan buat nambah-nambah di CV di bagian ‘active speaking English’. :p
Somewhere outhere menuju pos 1 |
Puncak Rinjani dari savana Sembalun |
Merepih Alam |
Setelah pos 1, padang-padang mulai ditumbuhi rerumputan yang tinggi. Dari jauh seperti sawah yang menguning..! Langit luas yang biru bikin saya pingin terbang…!! (memang bisa..?
Beberapa kerlip
bintang yang bersinar terang. Semoga seterusnya secerah ini, doa saya. Dan
betulah, malam itu bintang-bintang bak ketombe butir kristal yang
ditaburkan di atas langit malam lalu dibingkai perbukitan yang berjajar di
bawahnya. I really wish I could fly…!!
Untuk makan
malam, kami menyantap nasi bungkus yang kami bawa dari Masbagik. Lumayan
praktis, karena setelah itu saya sibuk berguru fotografi (padahal cuma megangin
kamera doank) sama si Ndank buat nangkep bintang-bintang yang lagi
narsis-narsisnya J. (Ga tau kenapa foto bintang dari kamera saya belum bisa di-upload, sementara fotonya Ndank dulu)
Bintang-bintang (photo by Ndank) |
Esok paginya
kami melanjutkan perjalanan menuju Plawangan Sembalun, yang katanya melewati
tujuh Bukit Penyesalan. Jalur trek memang terus menanjak tapi saya masih belum
merasa kehabisan napas. Sering saya katakan ke diri saya sendiri kalau jalur di
depan akan lebih parah dari yang saya injak sekarang. Dan saya menggunakan
teknik pernapasan seperti ini (dikasih tau Ndank): hembuskan napas dengan waktu
lebih lambat daripada ketika menghirupnya. Well, saya nggak tahu di mana di
antara kedua itu yang efektif, tapi saya nggak merasa mau putus jantung kayak
pas nanjak Cikuray. Alhamdulillah.. Tapi ya tetep, namanya nanjak masih ada
ngos-ngosannya. Tambah ngos-ngosan ketika lihat Bang Kun duduk di atas bukit
sambil pamer jajanan agar-agar warna-warni yang dikasih pemilik mobil yang
mengantar kami ke Sembalun. “Yo.. yang rasa jeruk, stroberi, anggur, tinggal
pilih...!!” Lagi asik-asiknya makan agar-agar, eh ada monyet. Posisi nya cukup
dekat dengan saya duduk. Kemudian monyet itu bergerak tiba-tiba ke arah saya.
Refleks, saya mundur. Eh, monyetnya tambah berani. Walhasil, ada kontak senjata
(baca:batu kecil) antara Bang Kun dan si monyet.Tapi nggak kena kok monyetnya,
langsung kabur doi. Kata Bang Kun, monyet itu takut kalau kita berani. Catet!
Ini tersangkanya :p |
Setelah sekitar
lima jam perjalanan, jam tiga sore kami tiba di Plawangan Sembalun dan disambut
hujan deras. Hujannya nggak sebentar dan
nggak lama juga #apa sih..? dan kemudian
sunset yang canntikkk banget hadir di Plawangan Sembalun. Di sebelah kiri tenda
ada danau Segara Anak, tepat di depan tenda ada gunung Sengkareng beserta
matahari di baliknya, dan di sebelah kanan ada gradasi warna yang uwedan:
biru,jingga, pink, dan di bawahnya hamparan awan! Narasi nya sudah, nah di
bawah ini visualisasinya (mata belo).
Sunset dari Plawangan Sembalun |
Raul sedang memuji alam dengan caranya yang makjleb..!! (photo by Sam) |
Acara
hunting-hunting foto selesai ketika matahari benar-benar hilang di balik bumi.
Kami lanjut makan malam setelah sebelumnya terjadi drama yang bikin mood Eling
jadi hilang, yaitu doi yang nggak sengaja nginjak feses homo sapiens. Kami
harus cepat-cepat pergi tidur untuk muncak tengah malam nanti. Apa daya,
sekitar dua jam saya hanya bolak-balik di dalam tenda, nggak bisa tidur. Apa
jadinya kalo muncak tapi nggak tidur..? Tapi untung akhirnya tidur juga.
Sebelum berangkat kami makan telur rebus, roti, dan minum minuman panas yang
udah disiapin trio Bang Deco, Kun, & Jamil. Kira-kira jam setengah dua kami
berdoa dan memulai perjalanan ke puncak dewi Anjani, ditemani Bang Kun &
Bang Jamil. Bang Deco menunggu di tenda, dan akan menyiapkan makanan untuk kami
santap ketika turun nanti (masih ingat kan kalo sebenernya mereka bukan porter?
#terharu).
Dilihat dari
sinar-sinar lampu headlamp, sepertinya kelompok kami tim kedua yang memulai
perjalanan muncak malam ini. Irene agaknya not feeling so well,, but she said
she can do it! Setelah menembus hutan sekira 45 menit, tanah yang dilalui mulai
berpasir dan bebatuan. Ketika lagi berhenti istirahat, lihat ke bawah, lah...
masih kelihatan lampu desa Sembalun…! Padahal kan ini sudah di ketinggian dua
ribu sekian dan kami udah nge-track dua hari.. hiks..
Semakin ke atas jalurnya semakin terjal. Kata teman-teman yang sebagian besar sudah ke Semeru, track pasir ini sedikit lebih mudah dari Semeru. Mungkin bisa jadi karena sehari sebelumnya hujan, jadi pasirnya lebih padat dan nggak gampang longsor waktu mereka naik Semeru. Kalau nengok ke bawah, makin banyak titik-titik putih dari headlamp yang sedang meratap naik ke puncak. Semakin ke atas, kami (baca:saya) lebih sering beristirahat. Bang Jamil, Ndank, & Raul sudah lumayan jauh ke atas daripada saya, Rifki, Aul, & Yopi. Eling, Irene, Wafiq, Sam, & Bang Kun nggak begitu jauh di bawah. Bule-bule semakin banyak yang mendahului saya. Jejak kaki mereka besar dan mantap. Saya ikuti jejak mereka di atas pasir, lumayan mengurangi kemungkinan longsor kembali. :p
Semakin ke atas jalurnya semakin terjal. Kata teman-teman yang sebagian besar sudah ke Semeru, track pasir ini sedikit lebih mudah dari Semeru. Mungkin bisa jadi karena sehari sebelumnya hujan, jadi pasirnya lebih padat dan nggak gampang longsor waktu mereka naik Semeru. Kalau nengok ke bawah, makin banyak titik-titik putih dari headlamp yang sedang meratap naik ke puncak. Semakin ke atas, kami (baca:saya) lebih sering beristirahat. Bang Jamil, Ndank, & Raul sudah lumayan jauh ke atas daripada saya, Rifki, Aul, & Yopi. Eling, Irene, Wafiq, Sam, & Bang Kun nggak begitu jauh di bawah. Bule-bule semakin banyak yang mendahului saya. Jejak kaki mereka besar dan mantap. Saya ikuti jejak mereka di atas pasir, lumayan mengurangi kemungkinan longsor kembali. :p
Pucuk.. Pucuk.. Pucuk...!!!! (photo by Eling) |
Kira-Kira
setengah jam sebelum saya mencapai puncak (dekat di mata, jauh di kaki),
matahari sudah mulai merekah. Good morning sunrise! dan awan yang
menutupinya..! J
Jalan lanjut
terus, walaupun langkahnya Cuma timik-timik (baca: pendek-pendek). Tak kan lari
puncak dikejar, hehehe…
Daaann
akhirnyaaa…. Mission Accomplished…!!! :D :D
Kira-kira pukul
setengah tujuh pagi, dengan rahmat Allah swt. Kaki kecil saya yang berukuran 36
ini bisa berada di puncak dewi Anjani! Disambut salaman oleh Ndank & Bang
Jamil, lunas kebayar semua rintih & asa selama perjalanan. Feel relieved…
Alhamdulillah
Tapi dingin banget di atas sana, padahal matahari
udah terbit. Dengan nggak tau malu, saya malak jaketnya Raul yang tebel :p (dia
pakai double jaket).
Satu per satu seluruh anggota tim akhirnya mencapai puncak. Saling memberi selamat dan berbagi kebahagiaan J Begitu juga dengan tim-tim lain, bule-bule saling berangkulan terharu.
Ritual wajib di atas puncak tak kami lewatkan.
Bernarsis ria, mencoba mengabadikan sekejap momen yang ada di puncak Rinjani.
Eling lalu mulai niup balon buat meriah-in suasana, dan dibawa ke sesi
foto-foto :D
Misenkomplis yeeiy..!! (photo by Ndank) |
Lanjoot ke part 3 #lap keringet
bikin down yg lg belajar nulis nih
BalasHapus