24 November 2013
Perjalanan ini adalah perjalanan ke-dua saya dalam menginjak
tanah Dieng. Jika sebelumnya saya bersama beberapa teman berangkat berombongan
menggunakan bus dari terminal Pulogadung, kali ini berbeda karena saya
berangkat hanya dengan seorang teman, yaitu tante Rina, dari Jakarta, sedangkan
beberapa teman yang lain sudah lebih dahulu menikmati dinginnya Dieng.
Minggu pagi sekitar pukul 5 pagi kami sudah meluncur naik
Burung Biru ke terminal Lebak Bulus untuk mengejar bus jurusan Wonosobo yang
menurut di internet berangkat pukul 6 pagi. Sampai di Lebak Bulus, antrian
sudah mengular. Di luar dugaan saya, ternyata banyak juga yang malam sebelumnya
sudah menginap di terminal Lebak Bulus. Berpikir cepat, tante Rina mengomando
saya untuk lebih dulu ke bus untuk mencari tempat duduk (karena tidak ada
sistem seating), sementara tante Rina mengantri tiket.
Ketika saya naik ke bus, ternyata hampir semua kursi sudah
terisi. Petugas Po bus sibuk mondar mandir sambil memegang salinan tiket. “Yang
nggak punya tiket, turun dulu!” serunya. Wah, kacau ini.. Saya pun turun dan petugas itu pun sudah
dikelilingi orang-orang yang berburu tiket.
Beruntung saya kecil, jadi bisa merangsek ke hadapannya tanpa melukai ke
orang lain. “Pak, sudah penuh ya?” tanya saya di tengah hiruk pikuk. “Nanti ya,
Dek..” katanya sambil sibuk bertatap dengan hape-nya. Saya pun di ditelepon tante
Rina yang mengabarkan kalau tiket sudah habis. Alamak..
“Gimana Pak?,” tanya saya setelah si petugas selesai
ber-telepon. “Sebentar, saya hitung
dulu.” Jawab si Pak Petugas. Tik tok tik tok.. “Masih ada tiga!” suara si petugas
terdengar jernih di tengah kebisingan. “Ini Pak, dua orang,” sambar saya sambil
mengulurkan uang. Setelah menerima karcis saya pun langsung melompat ke atas
bus dan mengabarkan kabar gembira ini ke Tante Rina. Rezeki pagi-pagi. Pukul 6
lewat sedikit pun, saya dan Tante Rina meluncur meninggalkan Lebak Bulus menuju
Wonosobo.
Perkiraan kami bahwa bus akan sampai ke terminal Wonosobo
sekitar pukul 5 sore, ternyata meleset. Begitu pula dengan bus Wonosobo-Dieng
yang ternyata pukul 6 sore sudah tidak beroperasi lagi. Kondisi hujan,
menimbang ini-itu, dan karena kebaikan petugas Po. Bus yang kami tumpangi tadi,
kami pun menumpang menginap di pol bus tersebut di terminal Wonosobo. Malam
yang gerimis saat itu terasa hangat karena makanan lezat nan murah yang dijual
seorang ibu di terminal dan bincang-bincang ringan tentang buruh dan kuliner
serangga dengan para tukang ojek. Tak sampai larut, saya dan tante Rina pun
terlelap di bangku panjang yang jika siang hari berfungsi sebagai tempat duduk
bagi para penumpang yang menunggu keberangkatan, cukup nyaman dan bersih.
Si Ibu kantin sedang membuat gemblong (baca 'o': seperti 'bolong') |
Esok paginya, setelah say goodbye dengan Pakde Sembur si
petugas bus, kami pun menuju Dieng, dan sekitar satu jam kemudian sudah bertemu
teman-teman lain yang telah lebih dulu sampai, yaitu Fathur, Hafiz, Kakak
Maria, Husna, dan Icha.
Setelah beristirahat, siang harinya kami ditemani Mas Amim,
Mas Biyan, dan Mas Agus yang merupakan ‘juru kunci’ Dieng naik ke puncak
Sidengkeng untuk melihat Telaga Warna secara keseluruhan di mana kedua warna
telaga dapat terlihat jelas, lengkap dengan background gunung Sumbing yang
sedang bertopi awan di puncaknya. Kemudian kegiatan sightseeing dilanjutkan ke mata
air Sumur Adem Semar dan Kawah Sedringo, yang view-nya mirip dengan Ranu
Kumbolo.
View dari puncak Sidengkeng |
mata air Sumur Adem Semar |
Sekitar pukul 3 sore, kami ber-sepuluh memulai perjalanan ke
gunung Prau melalui belakang gedung SMP (lupa nama SMP nya). Mula-mula kami
jumpai perkebunan kol dan kentang beserta ibu bapak petani yang sedang bekerja.
Tak menunggu lama kami pun sudah memasuki hutan, dan kami pun disambut segerombol bunga daisy
yang sangat cantik. Sungguh sebuah ucapan selamat datang yang menyenangkan
setelah melalui tanjakan yang cukup aduhai. Ketika selfie belum meraja dan
narsis masih bekerja, kami teman-teman saya pun bergantian
mengekspresikan sisi romantis humanis mereka berbagi waktu dengan alam.
Dan ternyata pertunjukan keindahan bunga daisy tak ada habisnya sampai beratus-ratus
langkah selanjutnya. Kami pun harus menahan kamera untuk tidak terus-terusan
memotret si primadona daisy kalau memang mau sampai di tempat camp.
Welcoming from daisy |
Setelah dua jam melangkah, hujan
deras pun mengguyur. Dengan memakai jas
hujan kami terus melanjutkan langkah. Saat itu yang saya khawatirkan adalah
kamera saya. Please jangan jamuran lagi, sayang...
Ketika melewati shelter pemancar,
kami pun berhenti untuk beristirahat dan hujan juga turut berhenti. (pingin
ngeluh tapi masih banyak doa yang pingin dikabulin)
Setelah beristirahat cukup,
perjalanan dilanjutkan. Kami melewati punggungan di mana terhampar bentangan
jurang di sisi kiri kami. Kami berhenti sebentar untuk menikmati angin yang
berhembus dengan bersahabat. Dinginnya enak. Ditambah lagi kami memetik
beberapa buah arbei yang semak-semaknya tumbuh di sisi kanan. Such a pleasure!
Kemudian kami pun melewati suatu
tempat yang seingat saya keadaannya mirip dengan Kalimati, dengan dominasi
rerumputan warna kuningnya. Dan saya merasa sedikit keanehan di sini. Kabut
sangat tebal saat itu. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter. Tanpa saya sadari
saya sudah berada di paling belakang barisan dan berjarak beberapa meter dengan
teman di depan saya (sebelumnya saya ada di tengah). Saya tidak terlalu
khawatir, karena di belakang masih ada Hafiz dan Icha walau tidak terlihat oleh
saya. Saya berniat memanggil salah satu dari mereka, dan saya kaget karena
ternyata mulut saya sedikit kaku untuk digerakkan. Ya Allah, no hypo no hypo no
hypo.. saya berkata dalam hati. Dan kemudian sambil berjalan saya menggerak-gerakkan
tangan dan mengeja a-i-u-e-o. Dingin sekali saat itu. Sudah beberapa level di
atas ‘enak’. Beberapa saat kemudian kami pun dapat berkumpul, dan melakukan
sesi foto yang menghangatkan kembali badan saya. Tolong dicatat ,ini bukan
bukti bahwa saya banci kamera ya.. :p
Setelah beberapa waktu berjalan
kembali setelah sesi foto, ekitar pukul 6 sore lebih sedikit kami pun tiba di
tempat untuk membangun tenda. Hanya ada dua tenda kelompok lain yang sudah
berdiri. Kami pun membangun tiga tenda untuk kami bersepuluh. Lepas maghrib,
kami makan malam dan dilanjutkan acara tertawa bersama-sama antara Fathur,
kakak Maria, Husna, Icha, & saya, sementara bos Hafidz sibuk berbisnis.
Tante Rina dan Mas Amim, mas Biyan, serta mas Agus langsung istirahat* (*=tenda
terpisah) setelah dinner.
Ketika akan istirahat di tenda
sebelah, kondisi tempat camp sudah sangat ramai. Sangat ramai. Sepertinya sunrise
besok akan seperti pasar. Dan benar saja, esoknya spot-spot terbaik sudah
penuh. Dan lagi ternyata dinginnya sangat menggigit dan hembusan anginnya
sangat aduhai. Saya hanya mengambil beberapa gambar asal jepret, selebihnya
sibuk melompat-lompat mencari hangat. Walaupun demikian, pengalaman pada momen
pada sepotong pagi itu tetap bernilai untuk dimiliki. I thank Allah for having
it.
morning spectrum |
Hobbit land |
Kami menjelajahi beberapa spot
untuk memotret setelah keadaan tidak terlalu ramai. Ada satu tempat di mana
gunung Slamet terlihat dan Dieng terlihat seperti maket di spot lainnya.
Setelah kamera kami kenyang akan
jepret-jepretan, giliran kami yang mengenyangkan perut masing-masing dengan pop
mi. Setelah perut kenyang, selanjutnya hasrat narsis kami yang lapar perlu
dikenyangkan. Sangat istimewa sajiannya yaitu, kontur yang mirip bukit
teletubies dengan signature dish-nya Prau yaitu hamparan bunga daisy yang
melimpah ruah. Dan hasilnya, pose dengan Edward Cullen-Bella Swan kawe muncul
dari sini :D
ramean (photo owned by Fathur) |
Saatnya turun dari Prau. Kami
melewati jalur yang berbeda dengan yang kami lalui ketika berangkat. Jalur
turun ini akan bermuara di base camp pendakian gunung Prau (sebelum penginapan
Bu Jono kalau dari Wonosobo). Waktu perjalanan turun sekitar dua jam. Tante
Rina dan saya yang mencapai basecamp lebih dulu menyempatkan sowan ke rekan
tante Rina yang ada di base camp. Setelahnya kami pun langsung menyusul teman
lain yang sudah beristirahat di kediamannya mas Amiem.
Waktu bergerak cepat dan karena tak
mau ketinggalan bus ke Jakarta, pukul tiga sore kami pun berangkat ke terminal
Wonosobo setelah sebelumnya farewell dengan tiga serangakai Amim-Biyan-Agus. Di terminal Wonosobo kami
bertujuh pun berpisah: saya, tante Rina, kakak Maria, dan Husna ke Jakarta;
Icha ke Purwokerto; dan duo-homo-travel-freak Fathur-Hafiz melanjutkan ke
Malang menuju Semeru. Auf Wiedersehen!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar