Pasar itu
selalu ramai. Di kota kecil, pasar menjadi pusat pertemuan,semua kalangan,
semua umur, mau tak mau. Semua tersedia, sandang, pangan, dan papan di pasar
itu. Segala kebutuhan terpenuhi, tercukupi karena ketidaktahuan. Keinginan
untuk memilih kebutuhan hanya muncul setelah adanya pengetahuan. Keinginan itu
lah yang kadang membuat hidup lebih rumit. Pengetahuan akan pilihan kebutuhan
itu biasanya muncul di kota besar, sehingga penduduk kota kecil jarang yang
menderita tekanan batin akibat kerumitan menentukan pilihan kebutuhan itu.
Kembali ke
sudut pasar, ada seorang lelaki tua terbungkuk menaiki tangga. Anak-anak tangga
yang telah ditatapi setiap hari berpuluh tahun.
Di kiri
kanan tangga itu, seorang demi seorang terduduk tersandar pada beton,
menjajakan dagangannya. Tapi itu nanti,
setelah matahari berada di sepenggalan kepala.
Lelaki itu
menyerahakan pada kaki nya ke mana langkah akan ditapaki. Kaki itu telah
dilatih waktu untuk membawa si empunya menuju tempat di mana ia akan
menghabiskan sebagian besar waktunya.
Sebuah petak berbatas beton terselimuti papan-papan
bergeming menatap lelaki tua yang berhenti di hadapannya. Seraya mengucapkan
selamat pagi, lelaki itu mengambil kunci kecil dari kantung kemeja nya, membuka
pintu kecil setinggi paha, juga terbuat dari papan.
Dibukanya satu per satu lembaran papan yang menyembunyikan
ruangan di bawahnya, namun disisakanbeberapa lembar papan sebagai tempat
terjajarnya barang dagangan. Setelah dialasi Koran, diletakkanya dengan cekatan
namun hati-hati, bungkusan plastic berwarna putih bertotol warna krem, yang
merupakan kedelai. Bungkusan itu adalah
tempe.
Lagi-lagi karena waktu, lelaki itu telah merasa bahwa
tempe-tempe berbungkus plastic itu adalah anaknya, anak bungsu nya yang tak
juga beranjak besar. Ia menata
tempe-tempe tersebut berdasarkan ukurannya. Di sampingnya, terselip pisau
bemata tajam yang berselimut Koran, walau hanya untuk memotong tempe.
Di samping petaknya, seorang wanita tua, namun lebih muda
dari nya, juga sedang menyiapkan dagangannya. Tampah-tampah berisi akar-akaran,
seperti jahe, laos,dan serai dikeluarkan dari kolong papan. Tampah berisi
bunga-bunga dan daun pandan mempunyai tempat tersendiri di pinggir petak.
Wanita itu berceloteh ramai sambil tangannya bergerak ke sana ke mari. Tubuh
yang gempal dan rambutnya yang keriting seakan turut berbincang seiring
lincahnya wanita itu bergerak.
Di depan mereka, seorang ibu duduk di belakang beberapa
ember besar, yang isinya adalah sahabat anak lelaki tua itu. Tahu.
Ia hanya duduk di suatu sudut, tak ada petak, tak ada papan.
Telah berpuluh tahun ia di situ. Mereka di situ. Maka bolehlah dikatakan mereka
adalah kolega kerja yang saling setia berpuluh tahun. Keputusan pension ada di
tangan mereka, namun tak juga mereka mau menandatnganinya.
Bagian lantai dua dari pasar ini boleh dibilang sebagai
panti werda karena sebagian besar diisi oleh sesepuh pasar, itu pun hanya
menempati sebagian los pasar yang ada di lantai dua. Lantai dua semakin
kehilangan penggemar, karena pembeli mana yang rela naik turun-tangga untuk
melihat dagangan yang pilihannya terbatas.
Entah yang mana yang menjadi penyebabnya lebih dulu,
pedagangkah atau pembelikah. Bisa jadi karena banyak pedagang yang enggan ke lantai
dua sehingga pembeli pun menurutinya. Atau pun pembeli yang enggan ke lanatai
dua sehingga pedagang menurutinya. Di lantai satu, area pasar meluas hingga ke
pinggir-pinggir jalan, lapak-lapak kecil, khas tipikal pasar tradisional.
Suasananya selalu semarak, daun-daun hijau segar di atas keranjang bamboo atau
dihamparkan di pinggir jalan, warna warni buah menyolok pandang, ribut
mulut-mulut berunding harga, sambil terdorong ke sana ke mari, dan kadang dikagetkan
dengan teriakan orang “awas, air panas!”, tapi hanya kardus yang dijunjungnya.
Benar-benar hidup!
Lantai dua, suasananya seperti umur para penghuninya, diam
menunggu waktu. Warna-warna yang ada pun seragam. Sederhana, sama dengan prinsip hidup penghuninya.
Sederhana namun setia.
Sang lelaki tua sudah menjalani hidup yang lurus. Ia
melakukan apa yang kebiasaan perintahkan kepadanya. Biasa jika lelaki itu
menikah, biasa jika lelaki itu bekerja, biasa jika ia berdagang, biasa jika ia
harus berkeliling kampong menjajakan tempe yang tak habis di pasar, biasa jika
hanya berobat ke mantri, biasa jika sepedanya dicuri orang, biasa jika harus
mebuat tempe hingga lewat tengah malam, biasa jika tempe yang tak laku menjadi
busuk, biasa jika ikut kenduri di rumah
tetangga, biasa jika anak-anaknya saling merengek, biasa jika istrinya pergi
mendahuluinya.
Lelaki tua, wanita bertubuh gempal, dan wanita penjual tahu
adalah rekan kerja yang memiliki keterikatan. Sahabat, orang menyebutnya masa
kini. Dari obrolan hari ke hari, berpuluh tahun, telah saling diketahui seluk
beluk masing-masing keluarga.
Tetapi sebenarnya, selain dari mereka bertiga, ada seorang
lagi sahabat bagi mereka, roh pasar itu. Walau lebih nyata kehidupan di lantai
satu, namun roh pasar lebih suka di lantai dua. Di tempat itu ia dapat
berkumpul dengan sahabat-sahabat sejak kecil ia tumbuh. Lain dari sahabatnya,
roh pasar tidak punya saudara atau keluarga. Keluarganya adalah penghuni pasar
lantai dua. Ia bebas meyusup ke orang-orang tua yang berbincang, berleha di
langit-langit yang bersawang dan kadang dikagetkan oleh burung wallet yang
menyambar.
Sang lelaki
tua lupa sejak kapan ia menyadari kehadirannya. Yang pasti roh pasar selalu
mendampinginya di pasar ini. Roh pasar menemaninya saat ia tercenung merenung
di hadapan anak-anaknya, saling bercakap tentang hal yang paling massiv, hidup.
Mereka berdua membayangkan kilas balik hidup mereka, meruntuti jejak-jejaknya
hingga sampai pada saat ini, terkadang sambil bertanya pada Tuhan. Namun mereka
setuju untuk tidak menuntut Tuhan.
Sambil
menyeruput kopi yang baru diantar penjaga warung makan, lelaki tua itu
tersenyum dan mengatakan betapa nikmatnya kopi itu. Sayang, roh pasar hanya
dapat menghirup baunya saja.
Sang roh pun
kini telah tua, walaupun tak ada yang pernah tahu kapan roh akan mati. Namun roh
pasar merasa tua. Ia merasa kulitnya semakin kerput ketika melihat los-los
pasar yang kosong. Ia merasa los –los itu adiknya yang kini menatapnya kosong
tak berdaya.
Namun, demi
melihat los-los itu ditiduri lelaki-lelaki mabuk tak berguna yang berkeliaran
di pasar, papan-papannya dijadikan medan judi, ia merasa adiknya diperkosa!
Tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Ia merasa
rambutnya turut memutih mengikuti lelaki tua ketika terpaksa membiarkan pilar-pilarnya
dijadikan tameng lelaki tak beradab untuk kencing.
Tak sekali
sahabat-sahabat roh itu membantu dengan menegur lelaki dengan otak di lutut
itu, namun sebagai akibatnya lelaki itu membawa teman-temannya, preman kelas
kambing, sangat menunjukkan siapa dirinya.
Mungkin
orang-orang tua memang ditakdirkan kalah. Orang-orang berdehem, mengangguk
surut. Saatnya orang-orang muda berbicara. Begitu yang kerap terdengar,
terbaca, di mana-mana. Orang-orang tua itu semakin bingung dengan orang muda, artinya, kemauannya, dan perilakunya. Berbagai
peristiwa telah terlewati oleh orang-orang tua itu, namun yang paling sulit
dipahami mereka adalah orang-orang muda
yang menyebut diri saudara.
Beberapa
bungkus tempe yang tersisa sudah merajuk manja meminta pulang. Mungkin mereka
sudah tahu akan tanda-tanda waktu senja,
atau mungkin mereka sebenarnya takut dengan burung-burung wallet yang semakin
banyak berkelebatan hinggap di langit-langit pasar. Pulang.
Sang lelaki
tua menuruni tangga dengan satu kantung plastic tempe yang belum terjual. Di
kanan kiri beberapa penjual sudah mulai membereskan dagangan, sisir plastic
yang berjari tajam,cermin kecil, sisir serit untuk menyisir kutu rambut, sandal
plastic aneka ukuran aneka warna. Tapi masih ada beberapa pedagang pula yang
masih tekun menajajakan dagangannya berupa segenggam cabai merah sedikit busuk,
segenggam bawang merah-putih yang kehitam-hitaman, sisa tumpahan perjalanan
dari truk ke los pasar, atau yang memang disisakan oleh pedagang besar.
Sampai di luar pasar, jalanan agak padat oleh
kendaraan, suasana yang lain dari biasanya. Sebuah kendaraan alat berat
berwarna kuning merayap di jalan pasar, diikuti oleh motor-motor yang
meliuk-liuk di belakangnya. Tanpa bertanya, dari para tukang becak, lelaki tua
tahu alat-alat berat itu akan digunakan untuk menebang pohon beringin yang
merindangi para penjual makanan mencari rezeki di seberang pasar, malam ini.
Untuk apakah
perlunya pohon itu ditumbangkan? Lelaki tua itu bertanya dalam hati. Seorang
tukang becak mengabarkan akan dibangun sebuah mall di seberang pasar. Lelaki
tua melihat wajah-wajah resah mereka yang melihat kendaraan alat berat itu,
termasuk tukang becak di dekatnya. Entah resah karena kemacetan langka ini atau
hal lain menyangkut sesuatu berbunyi ‘mol’ itu, pikir lelaki tua
itu.Kedengarannya seperti sesuatu yang mengancam.
“M..mol itu
apa?,” lelaki tua bertanya kepada tukang becak yang menatap nanar ke tengah
jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar