Kutahu bahwa tak baik
menghakimi seseorang, apalagi hanya melalui tampilan luarnya saja. Tapi itulah
yang pertama kali terbersit di benak ketika melihat wanita setengah baya itu.
Apakah ia dengan seorang dengan pikiran dan jiwanya masih sehat? Jahatnya pikiranku
hanya karena melihat pakaiannya yang sedikit lusuh dan gelambir lemak di balik
kulitnya yang keriput. Rambutnya yang sebagian telah memutih tumbuh jarang di
kepalanya. Ia membawa troli kecil di
belakangnya. Wajahnya agak menampakkan kebingungan. Terbersit rasa kasihan
kepadanya. Tapi aku tak boleh terbawa rasa. Apa pun bisa terjadi di dunia yang
luas ini.
Ia mengedarkan pandangan
ke daerah tempatku berdiri. Dan ia pun memutuskan menuju dua anak muda
berpakaian hipster yang sedang mengobrol di sebelah kiriku. Ia bertanya sesuatu
ke salah satu anak muda. Aku mencuri dengar dan pandang. Tak terlalu terdengar
apa yang dipertanyakannya, dan si anak muda balik bertanya apa yang dimaksud
wanita itu. Wanita itu pun mengulang pertanyaannya. Masih kurang terdengar
jelas. Si anak muda tampak berpikir sebentar, kemudian berkata-kata sesuatu
yang ternyata tidak menjawab pertanyaan. Si wanita menatap anak muda sebentar,
kemudian mengalihkan pandangan, kepadaku. Sekejap aku pun membuang muka.
Ia kembali mengitarkan
pandangan. Lalu ia pun menuju seorang pria yang berdiri di sisi sebelah
kananku. Kali ini suaranya lebih terdengar jelas. “Bagaimana jika saya ingin
menuju stasen Viktren?”
“Maaf, ke stasiun mana?”
si pria balik bertanya.
“Saya ingin tanya,
bagaimana jika saya ingin menuju stasiun... Vic-to-ria Li-ne?” tanya si wanita
kembali dengan ritme lebih lambat agar pelafalannya jelas.
“Oh, Anda tinggal naik
tangga itu lalu belok kanan dan dilanjutkan dengan menaiki eskalator di sebelah
kiri.”
“Jadi saya naik tangga
ini, belok kanan dan menaiki eskalator?”
“Ya, eskalator di sebelah
kanan,” si pria kembali menjelaskan.
“Baik, terima kasih,”
balas wanita itu.
Dengan agak tertatih
wanita itu berbalik arah sambil menyeret troli di belakangnya. Ia berjalan
lambat di sela orang-orang yang berdiri di peron, menunggu kereta. Kereta yang kami tunggu segera datang.
Orang-orang beranjak sedikit menuju batas peron. Pandanganku masih membuntuti
wanita itu. Dengan agak terbungkuk, ia masih menyeret langkahnya di antara
orang-orang yang siaga menunggu kereta yang akan datang. Ia berjalan semakin ke
ujung peron, di mana sebelah sisinya terdapat tangga yang disebut oleh pria
tadi. ‘Mengapa ia bepergian sendiri?’ pikirku. ‘Karena ia mandiri,’ jawabku
pula. Andai aku tak terburu-buru mungkin aku akan membantunya. Mungkin.
Sinar lampu dari kereta
yang sekejap lagi sampai sudah terlihat di terowongan rel yang gelap.
Derit-derit rel yang bergesekan dengan bagian bawah kereta terdengar menjerit
sepanjang peron. Si wanita tua menoleh ke arah pria yang ia tanyai tadi dan
kemudian ke arahku. Ia tersenyum kecil. Dan kemudian ia melompat ke depan
kepala kereta yang datang melaju kencang di depan kami. Meninggalkan trollinya.
Jerit orang-orang dan decit rel kereta saling bersaing memenuhi udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar