Kebiasaan tak baik saya sering deadliners masih saja terulang, termasuk
malam itu yang selalu packing last minute sebelum perjalanan dimulai. Trip
terpanjang selama 2 minggu saja, saya ‘hanya’ packing sekitar 2 jam sebelum mesti cabut ke pol travel, apalagi untuk trip
ini yang hanya sekitar 6 hari (jangan ditiru kebiasaan ini). Maka jadilah saya
malam itu baru packing setelah pulang kantor sekitar jam 12 malam, untuk
penerbangan jam 5 subuh esok paginya. Kawan trip yang berangkat dari Jakarta
pula, Aul, bilang pun sepertinya nggak akan tidur. Oke.
Sekitar jam 3 lewat saya bersiap keluar dari kosan. But then, Aul nggak ada
kabarnyaa..
Ketiduran pasti nih bocah, pikir saya. Karena sudah last minute, saya pun
langsung mencari taksi sambil selama perjalanan di dalam taksi terus men-dial
nomor si Aul. Masalahnya adalah saya nggak tau kosan Aul di Jakarta, jadi
sambil memikirkan plan B kalo Aul nggak bangun juga, saya tetap menuju Gambir,
meeting point rencana awal. Untungnya, ketika sampai di Gambir ada kabar dari
Aul! Horee..
Skip skip, akhirnya kami sampai di Soetta. Tapi kemudian saya lupa
masalahnya apa, kami turun di terminal yang tak seharusnya. Akhirnya kami
kembali cari taksi untuk ke terminal yang semestinya. (tajir abis lah taksi-an
mulu, tapi sudah last minute sih, jam 4 lewat saat itu). Dan saya menemukan
teori nggak penting: deadliners selalu menciptakan drama atau drama selalu
mengikuti seorang deadliners. Tapi sebenarnya deadliner menyukai kejutan-kejutan,
maka jadilah ia mencari drama dengan menjadi seorang deadliner. Bingung, kan? (sama :) )
Jadi ini ternyata bapak supir taksinya nggak tau jalan (pikir saya saat
itu), kita malah muter-muter ke arah yang nggak jelas dan lebih sepi. Paak,
udah jam setengah 5 ini Pak! Saya Cuma mikir gimana nih kalo ketinggalan
pesawat. Selama sejarah per-travelling-an saya yang masih se-upil ini belum
pernah saya ketinggalan pesawat, kereta, dll., walaupun saya seorang deadliner
(sombong, awas ntar kualat). Well, kalau si Aul punya cerita lain. Pas kita
sudah di pesawat, dia bilang dia sudah siap-siap buka pintu taksi kalau si
Bapak macem-macem. (Trus ninggalin gw gitu..?!)
Ya, jadi tau kan akhirnya kita berhasil nggak ketinggalan pesawat, dan
akhirnya kami sampai di Lombok pagi itu. Kami menunggu Bang Imboer, rekan kami
orang asli Lombok, dan satu lagi rekan dari Bandung, Dika. Setelah semuanya
kumpul, dan ada tambahan Bang Encep, orang Masbagik juga, kami langsung
meluncur ke Masbagik. Dan kemudian jam 11 siang kami pun makan. Makan sederhana
di pinggir jalan tapi sumpah enak banget (first notification, bahwa mungkin
nanti akan banyak frase-frase semacam itu di tulisan ini :p). Makan siang kami
siang itu: plecing kangkung (pastinya), telur dan semacam kuah kari, dan
pepaya. Uniknya, pepayanya ditaburi gula pasir dan diberi perasan jeruk nipis
(nulis ini sambil nelan ludah).
|
Makan siang hari pertama | | |
|
|
|
Setelahnya, kami pun menuju rumah Bang Imboer untuk bersih-bersih
sebentar. Dan ternyata saat itu si Dika
baru tau kalau rencana kita siang itu adalah tracking. Padahal sudah dikasih
tau itin-nya berminggu lalu (-_-, namanya pak direktur sibuk kali ya..? haha).
Kami pun lalu menuju ke desa Sembalun untuk menuju ke bukit Pergasingan
dengan ditemani Bang Kun and Bang Encep (Bang Imboer kayaknya melipir kalo yang
pake fisik :p). Di jalan, si Dika minta berhenti sebentar untuk beli jeruk.
What? Agak gimana gitu bawa buah-buahan kalo pas nanjak (inget pengalaman ke
Semeru bawa apel malang 2 kilo). Dan lalu Dika ngejelasin buah itu sehat, food
combining, dll. Ya gw juga tau, soalnya gw pernah juga nyobain jadi frutarian
(walaupun Cuma bertahan selama beberapa hari). Dan kemudian dilanjutkan dengan
debat sambil tuh sekantong jeruk ada di mobil. Dan si Aul Cuma cengar-cengir.
Sekitar jam 4 sore kami memulai pendakian. Setelah melalui jalan kampung
dan melewati beberapa anak tangga, track sempit panjang menjulang tinggi
mengahadang di depan kami. Mostly, kemiringan sekitar 60 derajat. Panasnya
amboii..!! Tapi untungnya diimbangi dengan semilir angin dingin yang sering
berhembus, dan tentunya pemandangan yang memanjakan mata di belakang kami. Gunung
Rinjani yang menjulang di belakang kami tertutup awan sore itu.
|
Bang Kun si Superman |
|
|
Dua jam setengah kemudian kami pun sampai di camping spot. Matahari sudah
pamit setelah menyuguhkan sunset yang oke di ketinggian, as always. Setelah
membangun 2 tenda dan makan malam dengan koki Bang Kun dan Bang Encep
(sebenarnya master chef di sepanjang trip ini, makasih Abang!!), kami lalu
menikmati suguhan bintang-bintang di atas lampu-lampu malam desa Sembalun. Saya
masih masih terus bercakap dengan malam sampai mereka pergi tidur lebih dulu.
Mereka berulang kali bertanya dari dalam tenda, am I okay being outside all
alone? I do really okay, because it’s one of my me-time! Hanya ditemani segelas
kopi racikan Bang Kun dan si Niki, saya pun memadu kasih dengan sang hayat.
|
Organic vs artificial stars (which one do you prefer?) |
|
Pagi menjelang. Kami pun bangun dari tidur malam ditemani angin yang heboh (salah satu frame tenda Bang Kun sampai patah), dan bersiap menyambut
sunrise. Setelah cekrak cekrek dengan muka bantal, dan matahari sudah
sepenuhnya terbit, pemandangan di depan
kami sungguh spektakuler. Walau gambar akan berbicara lebih, tapi inilah di
depan tenda kami: desa Sembalun dengan dikelilingi persawahan serta
bukit-bukit, dan gunung Rinjani berdiam dengan agung di sebelah kanannya,
seperti mengawasi kami makhluk-makhluk
lemah di bawahnya. Nggak bosan-bosan rasanya melihat itu semua, dengan
mata sendiri maupun melalui mata si Niki.
|
di puncak Pergasingan |
|
Sampai jumpa Rinjani! |
|
|
Enggan beranjak, tapi kami mesti turun pagi itu untuk menuju pelabuhan
Kayangan siang itu juga. Dan ternyata perjalanan turun tidak lebih mudah
daripada ketika naik. Yang biasanya bisa sedikit berlari untuk track turun,
tapi kali ini sulit dilakukan karena kemiringan yang cukup terjal. Dan jam 12
siang kami sudah sampai di Masbagik lagi dengan membeli nasi bungkus yang murah
dan enak (sudah dapet ayam goreng J).
|
Salah satu rumah di Sembalun |
Tulisan ini saya akhiri di sini dulu. Tadinya saya berencana menulis
keseluruhan 6 hari perjalanan dalam satu tulisan, tapi sepertinya akan terlalu
panjang dan juga mengingat PR kuliah yang banyaknya menyaingi gunung Rinjani.
Harap maklum dengan ke-tidakkonsisten-an saya dalam penggunaan gaya bahasa.
Lebih mending saya punya banyak gaya bahasa kan daripada kebanyakan gaya :D