Hari terakhir di
perhitungan masehi tahun 2016. Rencana awal, aku akan menghabiskan waktu saja
di apartemen. Inginnya menghabiskan malam tahun baru seperti seorang petani di
pedalaman Merapi. Selepas sholat isya, pergi tidur, lalu bangun subuh untuk
melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Tapi beberapa ajakan
teman membuat bimbang. Ditambah sudah seharian ini aku berada di luar, merasa
sedikit ‘tanggung’ untuk segera pulang ke apartemen. Setelah bingung memutuskan
di saat-saat terakhir, akhirnya aku pun turut berniat untuk melihat kembang
api. Aku tak berharap akan pertunjukan kembang api yang spektakuler setelah
mendengar cerita beberapa teman yang melihatnya di tahun yang lalu. Memang
cukup dimaklumi, dengan karakter masyarakat lokal yang tak terlalu ekspresif
ataupun antusias dengan segala sesuatu yang bersifat eksposif, perayaan tahun
baru masehi pun tak dapat terlalu banyak diharapkan.
Setelah melewati pos
pemeriksaan, ditemani hujan rintik-rintik kami berjalan mengikuti keramaian massa sambil mencari-cari tempat
yang tepat untuk menonton kembang api. Kami memutuskan menduduki tempat yang
menghadap ke perairan selat, di bagian bawah sebuah statue. Sebagian orang pun
memiliki pikiran yang sama dengan kami.
Tak menunggu lama, tempat
itu semakin penuh diisi oleh orang-orang. Menuju detik-detik pergantian tahun
beberapa kembang api kecil telah dinyalakan di beberapa tempat lain. Dan
akhirnya, ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, sebuah kapal di tengah
selat mulai meluncurkan kembang api, meledak di langit malam diikuti dengan
rekahan yang menyala emas di gelap malam. Suara dentuman susul menyusul
menyerupai suara meriam menggema dan curahan-curahan bunga api silih berganti
mempertunjukkan keelokannya. Warna-warni merah, hijau, emas, dan ungu
menari-nari di langit yang lama kesepian tanpa gemintang.
Kepalaku setengah
mendongak, terhipnotis dengan pertunjukkan di depanku. Dari tempatku berdiri,
aku merasa seperti berada di tengah pusaran kembang api yang meledak dengan
diameter mencapai puluhan meter. Dengan suara dentumannya yang menggaung agung,
butir-butir keemasan yang menyeruak seperti siap menelanku bulat-bulat. Dan lalu aku teringat Hari Akhir. Akan
seperti apakah ketika sangakakala Israfil ditiupkan jika suara ledakan kembang
api ini saja sudah dapat menyadarkan manusia terkesiap, menyadari betapa kecil
dirinya. Orang-orang yang berada di sini kemungkinan besar telah merencanakan
akan melihat kembang api ini sedari siang dan mereka telah memiliki ekspektasi
akan apa yang akan mereka lihat dan dengar, yang tentu tak jauh berbeda dengan
apa yang mereka dapatkan sekarang. Dan tetap mereka terbius terkesima.
Apa jadinya nanti, ketika
di hari Jumat itu, ketika tak ada yang mengira akhir dari segala akhir akan
terjadi. Mungkin banyak yang tak akan memiliki pengetahuan sedikit pun akan
suara memekakkan telinga yang mereka dengar pada pagi itu. Bagi yang memiliki
sedikit pengetahuan, tentu mereka akan segera dihempas dengan ketakutan yang
maha dahsyat tak terkira.
Titik-titik merah yang
menyeruak menjadi lingkaran besar tepat di depan wajahku dengan dentuman yang
menghujam dada seperti siap menelanku ke dalam pusat lingkaran itu. Serta merta
aku teringat akan visualisasi ledakan bintang yang bagaikan bunga merah merekah
di alam semesta. Tak terkira energi yang dilepaskannya dan membandingkannya
dengan energi yang kita peroleh dari bintang terdekat kita, matahari.
Sungguh kita adalah
makhluk lemah tanpa daya. Hanya karena rahmatNya dapatlah kita berjalan di atas
bumi ini.